Laman

Senin, 08 September 2008

Sejarah Rasulullah (Bagian 1)

Bangsa Arab di zaman dahulu memiliki kebiasaan menjadikan kejadian besar yang ada sebagai patokan penanggalan. Peristiwa penyerangan pasukan Gajah pimpinan Abrahah yang berniat menghancurkan Kabah di kota Mekah, dianggap sebagai sebuah peristiwa besar yang layak dijadikan patokan penanggalan. Di tahun pertama penanggalan Gajah ini, di kota Mekah dan di tengah keluarga Abdul Mutthalib, lahir seorang bayi yang kelak akan mengubah perjalanan sejalah manusia. Dialah Muhammad putra Abdullah bin Abdul Mutthalib.

Kelahiran bayi ini disambut dengan suka cita oleh keluarga bani Hasyim. Di negeri Persia, kelahiran Muhammad bin Abdillah memadamkan api keramat yang selama seribu tahun tidak padam. Kelahiran Muhammad juga menggoyahkan sendi-sendi istana kaisar Rumawi. Muhammad lahir dengan membawa janji risalah terakhir dari Allah untuk umat manusia.

Masa sebelum kenabian lazim disebut nama jahiliyyah. Kata jahiliyyah diambil dari kata jahl yang berarti bodoh. Dengan demikian, zaman jahiliyyah berarti zaman kebodohan. Memang, bangsa Arab di zaman itu layak mendapat sebutan ini. Karena selain memang tidak mengenal baca tulis, bangsa yang hidup di jazirah Arabia ini juga memiliki kebiasaan dan perilaku bodoh.

Menjadikan berhala-berhala buatan sendiri sebagai tuhan untuk disembah dan dipuja, mengubur anak perempuan hidup-hidup dan bertawaf mengelilingi Kabah dengan cara bertelanjang, merupakan salah satu contoh dari perbuatan bodoh bangsa ini di zaman itu. Muhammad lahir untuk mengikis kebodohan bangsa Arab dan umat manusia secara umum dengan cahaya iman dan ilmu.

Sejak lahir, Muhammad telah menunjukkan kelebihan yang khusus. Kehidupannya yang dimulai dengan keyatiman karena ayahnya telah meninggal dunia sebelum beliau lahir, penuh dengan kesusahan. Kesusahan inilah yang menempa diri Muhammad dan mempersiapkannya untuk menjadi manusia besar dan pemuka bagi seluruh umat sepanjang zaman. Empat tahun, Muhammad hidup terpisah dari sang ibu, Aminah binti Wahb dan tinggal di tengah keluarga Halimah as-Sa’diyah. Setelah berumur empat tahun dengan berat hati, Halimah melepas Muhammad dan mengembalikannya kepada sang ibu.

Yatim Piatu

Dua tahun kemudian, Aminah wafat, dan Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib yang amat menyintai dan menghormatinya. Abdul Mutthalib yang juga pemuka kaum Quresy telah meramalkan bahwa cucunya ini kelak akan menjadi pemimpin besar bagi umat manusia. Karena itulah, kakek tua yang amat berwibawa ini menghormati dan menyintai Muhammad lebih dari cucu-cucunya yang lain.

Diriwayatkan bahwa suatu hari Muhammad duduk di tempat yang dikhususkan untuk Abdul Mutthalib. Orang-orang bangkit untuk melarangnya, tetapi Abdul Mutthalib mengatakan bahwa Muhammad sangat layak untuk duduk di tempat itu.

Namun keteduhan payung Abdul Mutthalib tidak berumur panjang. Menginjak usia delapan tahun, Muhammad harus merelakan kepergian kakeknya itu. Akhirnya Muhammad tinggl dan diasuh oleh Abu Thalib pamannya yang menyintainya lebih dari anak-anak sendiri. Di rumah Abu Thalib inilah, beliau tumbuh hingga menginjak usia remaja remaja.

Saat berusia 12 tahun, Muhammad ikut menyertai pamannya, pergi ke Syam untuk berniaga. Sudah menjadi kebiasaan kafilah dagang dari Mekah untuk singgah beristirahat di tempat pendeta Buhaira. Kafilah Abu Thalib pun singgah di sana. Pendeta Buhaira menyambut kedatangan kafilah itu dengan tangan terbuka. Namun sang pendeta merasa ada keanehan. Kepada Abu Thalib dia mengatakan bahwa dirinya menyaksikan sesuatu yang menakjubkan di kafilah ini.

Abu Thalib yang tidak mengetahui apa maksud sang pendeta menyatakan bahwa dirinya tidak merasakan adanya keanehan. Hanya saja dia meninggalkan kemenakannya yang bernama Muhammad di dalam kemah.

Mendengar hal itu, Buhaira meminta Abu Thailb untuk membawa Muhammad masuk ke rumahnya. Melihat remaja tampan dan sopan itu, Buhaira meminta izin Abu Thalib untuk mengajaknya berbicara secara khusus. Sang pendeta membawa Muhammad ke tempatnya. Gerak-gerik, tutur kata dan jengkal demi jengkal tubuh Muhammad diperhatikannya. Selanjutnya Buhaira memanggil Abu Thalib dan berkata, “Wahai Abu Thalib, kelak kemenakanmu ini akan diangkat menjadi nabi. Dialah nabi yang dinanti-nantikan kedatangannya. Karena itu, bawalah dia kembali ke Mekah dan jangan biarkan kaum Yahudi di negeri Syam menyakitinya.”

Sesuai dengan anjuran pendeta Buhaira, Abu Thalib membawa Muhammad kembali ke Mekah.

Gelar al-Amin

Muhammad tumbuh besar menjadi pemuda yang dikenal dengan kejujuran, sehingga beliau mendapat gelar Al-Amin yang berarti orang yang terpercaya. Bagi masyarakat kota Mekah, tidak ada orang yang bisa dipercaya lebih dari Muhammad Al-Amin. Karena itu, ketika Abu Thalib mengusulkan kepada Khadijah binti Khuwailid untuk menjadikan Muhammad sebagai kepercayaan dalam perniagaannya, usulan itu disambut dengan merta merta. Pada usia 25 tahun, Muhammad melakukan perjalanan niaga ke Syam dengan membawa barang dagangan milik Khadijah, wanita kaya di kota Mekah yang amat disegani.

Untuk memudahkan pekerjaan, Khadijah mengirimkan suruhannya bernama Maisarah untuk menyertai dan membantu Muhammad. Kesopanan pemuda bergelar Al-Amin ini, kejujuran dan kepiawaiannya dalam berdagang menarik perhatian Maisarah. Perniagaan ini, membawa keuntungan yang banyak meski dalam berdagang, Muhammad sangat memperhatikan masalah kejujuran. Seluruh kisah perjalanan ini diceritakan oleh Maisarah kepada Khadijah.

Menikah Dengan Siti Khadijah AS

Dengan usul Abu Thalib dan sambutan Khadijah, Muhammad datang meminang wanita mulia ini. Perkawinan antara Muhammad Al-Amin dan Khadijah, disaksikan oleh para malaikat di langit dan bumi. Dari dua manusia mulia ini, kelak akan lahir seorang putri yang menjadi penghulu wanita seluruh jagat, yaitu Fatimah Az-Zahra.

Sejarah Rasulullah (Bagian 2)

Hijrah ke Habasyah

Pada pembahasan yang lalu telah disinggung bahwa kaum muslimin di kota Mekah, khususnya mereka yang berasal dari kalangan budak atau orang-orang yang memiliki kedudukan sosial rendah, mendapat perlakuan buruk dari kaum kafir Quresy. Tidak sedikit dari mereka yang disiksa dan ada pula yang dibunuh. Kondisi ini sangat menyulitkan umat Islam. Akhirnya, untuk melepaskan diri dari penderitaan dan untuk menjaga agar umat yang baru terbentuk tidak bisa dihancurkan, Rasulullah SAW memerintahkan sekelompok umatnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah yang saat itu dipimpin oleh raja Najasyi.

Kelompok muhajirin ke Habasyah dipimpin oleh Ja’far putra Abu Thalib. Kepergian Ja’far dan rombongannya yang berjumlah kurang lebih delapan puluh orang ke Habasyah membuat berang kaum kafir Mekah. Merekapun mengirimkan utusan kepada raja Najasyi untuk menolak kehadiran kaum muslimin di negerinya. Permintaan Quresy tidak langsung dikabulkan oleh Najasyi. Raja yang beragama nasrani ini lantas memanggil Ja’far dan rombongannya ke istana.

Di tempat inilah dan di hadapan raja beserta para penasehat agamanya, Ja’far menjelaskan maksud kedatangannya ke Habasyah. Putra Abu Thalib ini dengan tegas mengatakan bahwa dia dan rombongannya, bukanlah budak yang lari dari tuannya atau pembunuh yang lari dari tebusan darah. Mereka lari dari Mekah hanya untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan dan tekanan yang dilakukan para pemuka Quresy terhadap mereka. Mereka dianggap layak mendapat perlakuan buruk karena telah menyembah Tuhan yang Esa dan menolak sujud kepada berhala.

Penjelasan Ja’far bin Abi Thalib berhasil mematahkan makar utusan Quresy. Raja Najasyi memerintahkan untuk mengembalikan semua hadiah yang dikirim Quresy kepadanya. Utusan Mekah-pun meninggalkan negeri Habasyah. Untuk kaum muhajirin ini, Najasyi memberikan izin tinggal di negerinya dengan aman dan damai sampai kapanpun juga.

Pemboikotan Terhadap Bani Hasyim

Di Mekah, kaum kafir Quresy semakin kalap, kala menyaksikan jumlah mereka yang masuk agama Islam semakin bertambah. Pembesar-pembesar Mekah semisal Hamzah bin Abdul Mutthalib juga telah mengumumkan keislamannya. Hal ini membuat para pemuka Quresy berpikir untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi membunuh Muhammad tidaklah mudah. Sebab, bagaimanapun juga, bani Hasyim yang termasuk kelompok bangsawan Quresy tidak akan setuju.

Quresy membujuk Abu Thalib yang dipandang sebagai pelindung utama Rasulullah agar bersedia menerima uang tebusan dua kali lipat dari tebusan biasa, dan membiarkan Muhammad dibunuh. Pembunuhnya akan dipilih dari orang di luar Quresy. Dengan demikian, pembunuhan atas diri Muhammad tidak akan berbuntut pada perang saudara di Mekah. Usulan tersebut dipandang Abu Thalib sebagai tanda keseriusan Quresy untuk membunuh Nabi. Akhirnya Abu Thalib memanggil seluruh anggota keluarga bani Hasyim agar berkumpul di lembah Abu Thalib untuk melindungi Muhammad dari upaya teror yang direncanakan Quresy terhadapnya.

Bulan Muharram tahun ke-7 kenabian, kaum kafir Quresy menyusun sebuah perjanjian yang berisi pemboikotan terhadap bani Hasyim. Berdasarkan perjanjian ini, segala bentuk jual beli, pernikahan dan hubungan dengan bani Hasyim dilarang. Pemboikotan ini telah menyebabkan bani Hasyim yang berada di lembah atau syi’b Abu Thalib kesulitan mendapatkan bahan pangan dan keperluan hidup lainnya.

Pemboikotan ini dimaksudkan untuk memaksa bani Hasyim khususnya Abu Thalib, agar bersedia menyerahkan Muhammad kepada Quresy untuk dibunuh. Tekad mereka untuk menghabisi nabi terakhir ini, sedemikian kuat sehingga Abu Thalib memperkuat penjagaan atas diri Rasulullah. Di malam hari, Abu Thalib memerintahkan salah seorang dari bani Hasyim untuk tidur di pembaringan Rasulullah, demi menjaga keselamatan Nabi bergelar Al-Amin ini.

Kondisi serba sulit ini berlangsung selama tiga tahun. Selama itulah, mereka yang berada di dalam syi’b bergelut dengan rasa lapar dan keterasingan. Pekik tangis anak-anak bayi dari keluarga bani Hasyim yang kelaparan terkadang terdengar sampai ke luar lembah itu. Bagi sebagian orang Quresy, keadaan ini sungguh menyiksa batin mereka. Karena itu, mereka sepakat untuk mencabut boikot atas bani Hasyim.

'Tahun Kesedihan ('Amul Huzn )

Tahun sepuluh kenabian, setelah bani Hasyim keluar dari syib Abu Thalib dan terlepas dari pemboikotan, Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid, paman dan istri Nabi yang selama ini menjadi pelindung dan pembela risalah kenabian, meninggal dunia. Wafatnya kedua manusia agung ini menjadi pukulan berat bagi Nabi. Betapa tidak, di saat kaum Quresy berniat membunuh beliau, Abu Thalib siap berkorban untuk melindungi Rasulullah. Di saat kaum kafir memboikot Nabi secara ekonomi, Khadijah menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Tahun 10 kenabian disebut oleh Rasulullah sebagai ‘amul huzn yang berarti tahun kesedihan karena kepergian dua insan pembela risalah kenabian.

Setelah Abu Thalib dan Khadijah wafat, dan setelah menyaksikan penentangan kaum Quresy, Nabi SAW pergi ke kota Thaif untuk mengajak warga di kota itu kepada agama Islam. Tetapi warga Thaif menyambut Nabi dengan lemparan batu dan cacian. Akibat kekurangajaran warga Thaif, malaikat Jibril mendatangi Rasulullah dan meminta izin untuk menghukum mereka. Tetapi nabi yang oleh Allah disebut sebagai orang yang penyayang ini menolak sambial mengatakan, “Ya Allah ampunilah kaumnya, karena mereka tidak mengetahui kebenaran yang aku bawa.”

Keislaman Aus dan Khazraj

Setelah kembali ke kota Mekah, Nabi memfokuskan dakwahnya kepada suku-suku Arab lainnya yang berdatangan ke kota itu untuk melaksanakan ibadah haji. Dari situlah, beliau berkenalan dengan orang-orang Aus dan Khazraj, penduduk kota Yatsrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Di Yatsrib, suku Aus dan Khazraj merupakan musuh bebuyutan yang sejak lama terlibat perang saudara. Di kota itu, hidup pula suku-suku beragama Yahudi yang sering mengabarkan kepada mereka akan kedatangan Nabi di akhir zaman.

Setelah berkenalan dengan Nabi Muhammad SAW dan ajara yang dibawanya, orang-orang dari Aus dan Khazraj menyatakan ikrar keimanan kepada beliau. Mereka bahkan mengingat janji dan baiat dengan Nabi. Orang-orang Aus dan Khazraj yang telah menemukan seorang pemimpin yang dapat mengakhiri permusuhan di antara mereka, menawarkan kepada Rasulullah SAW agar beliau bersedia berhijrah ke kota mereka.

Sesuai dengan tawaran itu, dan dengan perintah Allah swt, Rasul SAW memerintahkan kaum muslimin Mekah untuk berhijrah ke Madinah. Rombongan demi rombongan kaum muslimin Mekah bergerak ke arah Yastrib. Gelombang hijrah ini terus berlanjut dan berpuncak pada hijrah Nabi ke kota itu.

Sejarah Rasulullah (Bagian 3)

Perang Khandaq

Setelah terjadinya perang Uhud yang merupakan pembalasan dendam suku Quresy atas kekalahan telaknya pada perang Badr, kekuatan kaum muslimin di Madinah mulai diperhitungkan. Munculnya kekuatan baru yang membawa simbol keagamaan baru dirasa oleh banyak suku Arab sebagai ancaman yang serius. Untuk itu, ketika Abu Sufyan meminta dukungan dana dan tentara dari suku-suku tersebut untuk memerangi Madinah dan menghancurkan kaum muslimin, segera terkumpul pasukan dan dana yang besar.

Pada tahun kelima hijriyah, sekelompok orang Yahudi datang ke Mekah untuk memprovokasi kaum kafir Quresy agar menyerang kaum muslimin di Madinah. Untuk memperkuat pasukan, Quresy meminta bantuan suku-suku Arab lainnya yang memendam permusuhan dengan Rasulullah SAW. Dalam perang ini, Quresy juga meminta bantuan suku-suku Arab yang memiliki perjanjian militer dengannya. Akhirnya, Abu Sufyan berhasil menghimpun kekuatan sebesar 10 ribu tentara. Jumlah ini dipandang amat besar untuk menyerang sebuah kota yang jumlah penduduknya baik laki-laki, perempuan, anak kecil maupun orang lanjut usia, hanya sekitar 10 ribu orang.

Ketika berita rencana serangan pasukan besar yang dikenal dengan Ahzab ini sampai ke telinga Rasulullah SAW, beliau mengumpulkan para sahabatnya untuk meminta pendapat mereka. Pada saat itu, Salman Al-Farisi, sahabat Nabi yang berasal dari negeri Persia mengatakan, bahwa orang-orang di negerinya biasa menggali parit ketika mengkhawatirkan serangan musuh. Pendapat ini akhirnya disetujui oleh Nabi SAW.

Rasul memerintahkan para sahabatnya untuk menggali parit di sepanjang wilayah utara kota Madinah. Sebab, daerah utaralah satu-satunya pintu yang mudah untuk memasuki kota Madinah, mengingat bukit-bukit bebatuan yang membentengi kawasan timur dan barat kota ini sehingga musuh tidak mungkin menyerang dari sana. Bukit-bukit itu juga relatif menutupi kawasan selatan kota Madinah, meski tetap meninggalkan celah-celah kecil.

Selama enam hari, seluruh kaum muslimin termasuk pemimpin mereka, yaitu Rasulullah SAW bahu membahu menggali parit. Setelah parit siap, pasukan kaum muslimin mengambil posisi pertahanan di dalam kota Madinah. Dan pasukan pemanah juga telah siap di posisi masing-masing.

Di saat seperti itu, Yahudi bani Quraidhah yang tinggal di Madinah merobek isi perjanjian damai dengan Rasulullah. Tidak hanya itu, mereka juga bersiap-siap melakukan pengkhianatan dan membantu pasukan Ahzab untuk menghabisi kaum muslimin. Akibatnya, umat Islam menghadapi musuh yang besar di luar dan musuh di dalam.

Pasukan kafir terperangah ketika menyaksikan bentangan parit yang menghalangi gerak maju mereka. Bangsa Arab saat itu tidak mengenal strategi pertahanan dengan membuat parit. Di luar parit pasukan Ahzab mendirikan kemah. Beberapa kali pasukan berkuda Ahzab berusaha menyeberang parit, namun usaha mereka gagal setelah pasukan muslimin menghalau mereka dengan hujan anak panah.

Suatu ketika, beberapa jawara Ahzab termasuk Amr bin Abdi Wad berhasil menyebrangi parit melalui bagian yang relatif sempit. Di sanalah, Amr dengan congkaknya menantang siapa saja yang berani untuk bertarung dengannya. Hanya Ali bin Abi Thalib yang menjawab tantangan itu, karena Amr bin Abdi Wad dikenal sebagai pahlawan Arab yang keberaniannya paling kesohor. Nabi SAW melilitkan serbannya di kepala Ali dan mendoakannya.

Ali yang mewakili kaum muslimin kini berhadap-hadapan dengan Amr yang mewakili kubu kaum kafir. Debu-debu beterbangan dan serunya pertarungan itu hanya bisa didengar dari dentingan suara pedang. Semua menantikan hasil pertarungan itu dengan hati berdebar-debar. Tak lama kemudian terdengar pekik takbir Ali yang menandakan terbunuhnya Amr di tangan pahlawan muslim ini. Kemenangan Ali atas Amr dipuji oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya. Beliau bersabda, pukulan Ali pada perang parit lebih mulia dari ibadah seluruh manusia dan jin.

Kekalahan Amr telah menebar kekecewaan dan keputus-asaan di hati kaum kafir. Bertiupnya badai yang memporakporandakan perkemahan mereka dan minimnya persediaan rumput untuk binatang ternak dan kuda-kuda mereka telah mengendurkan tekad untuk menyerang kota Madinah. Akhirnya Abu Sufyan yang menjadi komandan pasukan Ahzab memerintahkan untuk berkemas dan kembali ke Mekah.

Kisah perang Ahzab secara cukup detail diceritakan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab.

Sebagaimana yang telah disinggung sebelum ini, ada tiga kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah dan sekitarnya. Mereka adalah kabilah Bani Qainuqa, bani Nadhir dan Bani Quraidhah. Dengan mereka inilah Nabi SAW mengikat perjanjian untuk tidak saling mengganggu. Perjanjian ini dibuat untuk menciptakan suasana damai di Madinah antar beberapa kelompok untuk bisa hidup berdampingan dengan damai.

Namun ketiga kabilah Yahudi tersebut akhirnya melakukan pengkhianatan dan pelanggaran terhadap kesepakatan. Kabilah Bani Qainuqa dan kabilah bani Nadhir diusir dari Madinah kerena pengkhianatan mereka. Sedangkan bani Quraidhah mendapatkan hukuman yang lebih berat karena pengkhianatan mereka yang amat besar. Seperti yang telah dijelaskan tadi, di saat kaum muslimin Madinah menghadapi ancaman serangan pasukan Ahzab yang berjumlah sepuluh ribu orang, Yahudi bani Quraidhah merobek isi perjanjian damai mereka dengan Rasulullah.

Pengkhianatan yang dilakukan oleh kelompok sedemikian besar sehingga mengancam keamanan seluruh Madinah. Setelah berakhirnya perang Ahzab atau perang Khandaq yang diwarnai dengan kepulangan pasukan kafir ke negeri masing-masing, Allah swt memerintahkan Nabi-Nya untuk mengepung dan menyerang bani Quraidhah. Dengan posisi yang terjepit dan mental yang telah melemah karena kepergian pasukan Ahzab, bani Quraidhah menyerah di tangan Nabi SAW.

Nabi SAW memberikan wewenang kepada Saad bin Mu’adz, pemimpin Aus yang dulu sekutu dekat kelompok ini, untuk memutuskan hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap bani Quraidhah. Saad memutuskan untuk memenggal kepala orang-orang lelaki dari kelompok ini dan menawan anak kecil dan kaum wanitanya. Vonis ini disebut oleh Rasulullah sebagai vonis ilahi.

Sejarah Rasulullah (Bagian 4)

Perang Mu'tah

Setelah tentara muslimin berhasil menundukkan kekuatan kaum Yahudi di Kheibar, dan setelah keamanan dan stabilitas berhasil ditegakkan di Hijaz, maka Rasul Allah saaw berpikir untuk memusatkan dakwahnya kepada penduduk di kawasan-kawasan perbatasan dengan Syam. Untuk itu Rasul Allah saaw mengutus salah seorang sahabat, bernama Harits bin Umair Al-Azdi, dengan membawa sepucuk surat untuk diserahkan kepada pemimpin Ghasasinah, bernama Al-Harits bin Abi Syimr Al-Ghassani. Akan tetapi, setelah menerima dan membaca surat Rasul Allah, pemimpin Ghasasinah ini menangkap dan membunuh utusan Nabi di suatu tempat bernama Mu’tah. Perbuatan membunuh utusan ini dianggap sebagai pelanggaran besar terahdap peraturan yang berlaku saat itu, yang melarang membunuh utusan yang datang dari pihak musuh sekalipun. Hal ini membuat Nabi marah dan beliau memutuskan akan menghukum pembunuh utusan beliau.

Selain itu, sebelumnya pun Rasul Allah saaw telah mengutus 15 orang dari sahabat beliau ke kawasan Syam, untuk mengajak penduduk negeri itu kepada Islam. Akan tetapi penduduk setempat menangkap mereka semua. Kemudian terjadi perlawanan dan pertempuran diantara mereka. Oleh karena kekuatan yang sangat tidak seimbang, maka semua sahabat Nabi tersebut gugur syahid, kecuali satu orang yang terluka dan berhasil kembali kepda Nabi di Madinah dan memberitakan peristiwa tersebut.

Dua peristiwa tersebut telah menciptakan kondisi politik yang panas diantara kedua belah pihak. Kemudian pada bulan Jumadil Awal, Rasul Allah saaw memerintahkan kaum muslimin untuk berjihad, dan beliau mengutus tentara berjumlah 3000 orang. Rasul Allah saaw menunjuk Ja’far bin Abitalib sebagai panglima perang, dengan catatan, jika ia gugur, maka Zaid bin Harits, menggantikannya. Jika Zaid gugur pula, maka Abdyullah bin Rawwahah menggantikannya. Jika Abdullah juga gugur, maka mereka harus mengambil kesepakatan untuk mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai panglima. Rasul Allah saaw pun menyempatkan diri untuk menghantarkan mereka dan mengucapkan selamat jalan kepada tentara muslimin tersebut, seraya mendoakan : Semoga Allah membela kalian, dan mengembalikan kalian dalam keadaan selamat, dan dengan kemenangan.

Di Syam, Al-Harits bin Abi Syimr Al-Ghassani, yang berkuasa di Bashro, telah mempersiapkan pasukan berjumlah 100.000 orang untuk menahan langkah maju tentara muslimin. Sementara itu, Kaisar Syam sendiri juga mempersiapkan 100.000 tentara untuk berjaga-jaga, dan akan turun ke medan pertempuran jika diperlukan.

Sebagaimana diketahui, saat itu Syam dikuasi oleh kekaisaran Romawi, dan ada beberapa penguasa Arab yang dijajah dan menyatakan tunduk kepada kaisar Romawi. Mereka ini adalah negara-negara blok Romawi. Sebagaimana di zaman kita ini kita mengenal ada blok barat dan blok timur, maka saat itu pun ada blok Romawi dan blok Persia. Negeri Syam yang merupakan blok Romawi tentu didukung oleh kekuatan Romawi.

Kekuatan dua pasukan yang akan bertempur ini jelas tidak seimbang. Peperangan pun berlangsung selama beberapa hari. Di pihak muslimin, satu persatu panglima tentaranya gugur. Mulai dari Ja’far, Zaid dan Abdullah bin Rawahah. Kemudian pasukan muslimin sepakat mengangkat Khalid bin Walid sebagai penglima. Khalid pun menyusun taktik perang yang tidak dikenal sebelumnya. Ia membagi tentara muslimin menjadi dua bagian. Bagian pertama tetap berada di garis peperangan, sedangkan bagian kedua diminta untuk memisah dan menempatkan diri di jarak yang cukup jauh. Semua itu dilakukan di malam hari dan dengan kerahasiaan yang ketat. Pasukan yang kedua ini diminta untuk bergabung dengan pasukan pertama yang berada di medan perang, di pagi hari begitu peperangan telah dimulai lagi.

Maka persis sebagaimana yang tekah diatur, ketika besok paginya perang berkobar lagi antara pasukan muslimin yang bertahan di medan perang dengan pasukan musuh dari Syam, pasukan muslimin yang tadi malam memisahkan diri di suatu tempat, berdatangan untuk bergabung. Pasukan musuh menyangka bahwa yang datang itu adalah bala bantuan baru dari Madinah, yang menambah jumlah pasukan muslimin. Hal itu menyebabkan pasukan musuh kehilangan nyali, sehingga pasukan muslimin kemudian berhasil mengalahkan mereka dan kembali ke Madinah dengan kemenangan.

Rasul Allah saaw sangat sedih ketika mendengar bahwa Ja’far bin Abi Thalib gugur di medang perang Mu’tah. Dan tiap kali mengingat peristiwa tersebut beliau menangis. Dalam sejarah disebutkan bahwa kedua tangan Ja’far terpotong oleh pedang musuh, sebelum kemudian beliau gugur syahid. Rasul Allah saaw mengatakan bahwa Ja’far mendapat hadiah berupa dua sayap yang membuatnya dapat terbang di surga. Untuk itulah kemudian Rasul Allah saaw menjulukinya dengan “Ja’far At-Thayyar” yang artinya kira-kira “Ja’far yang Terbang”.

Selain itu, Rasul Allah saaw, tentu saja atas perintah Allah swt, juga memberikan hadiah sebagai cara untuk mengenang Ja’far At-Thayyar, dengan mensyareatkan suatu amalan sunnah berupa salat, yang dinamai sebagai salat Ja’far At-Thayyar. Salat ini dikenal di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dengan nama salat Tasbih. Meskipun di kalangan Syiah saja salat ini dikenal dengan nama salat Ja’far, akan tetapi ia dilakukan bukan untuk Ja’far At-Thayyar. Namanya saja salat Ja’far, tetapi fadlilah, keutamanan dan pahalanya yang sangat besar, adalah bagi siapa saja yang melakukannya.

fiqih tentang zakat

Kitab Zakat
Syaikhul Islam ibn Taimiyah, Majmu Al-Fatawa, cet. I/1419H/1998M, Jilid 13, Maktabah Al-Ubaikan, Riyadh-KSA.

A. Pengantar Kitab Zakat
Segala pujian dan sanjungan adalah milik Allah, kami memohon karunia-Nya, memohon ampunan-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amal-amal kami; siapa yang diberi hidayah Allah maka tiada satu makhluk pun yang bisa menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan Allah maka tiada satu makhluk pun yang bisa memberi hidayah kepada-Nya. Kami bersaksi bahwasannya tiada ilah yang bisa disembah secara hak, kecuali hanya Allah semata yang tiada sekutu baginya, dan kami bersaksi dengan penuh kerelaan dan keridhaan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.

Amma Ba’d …
Sesungguhnya Allah ta’alaa telah menganugerahi kita nikmat yang banyak, dengan diutus-Nya Muhammad SAW. Ini adalah nikmat yang terbesar yang pernah diterima oleh manusia, dan telah disempurnakan nikmat-Nya itu, dan menjadikannya ummat yang terbaik diantara sekian banyak ummat manusia; Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, Allah turunkan kepadanya Al-Qur’an dan Hikmah; Allah jadikan Al-Qur’an itu sebagai kitab yang menghapus keberlakuan kitab-kitab samawi sebelumnya; Allah menyuruh melalui Al-Qur’an agar semua makhluk hanya beribadah kepada Allah dan berbuat santun kepada makhluk-makhluk-Nya.

Allah berfirman:
“Dan sembahlah oleh kalian Allah, jangan musyrik kepada-Nya, kepada kedua orang tua kalian berbuat santunlah, juga kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, tetangga dekat dan jauh, kawan terdekat dan kawan terjauh, ibnu sabil, dan budak-budak yang kalian miliki. Sungguh, Allah tidak suka kepada orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri.” Q.S. Al-Nisaa’: 36).

Allah membagi agama ini menjadi tiga tahapan: Islam, Iman, dan Ihsan.
Allah menjadikan strata Islam sebagai sebagai bangunan yang disangga oleh lima tiang utama, yang terurgennya adalah shalat --dan itu ada lima kewajiban-- yang Allah gandengkan dengan zakat. Maka, ibadah yang terurgen adalah shalat, berikutnya adalah zakat. Di dalam shalat, manusia beribadah kepada-Nya, dan di dalam zakat, manusia berbuat santun kepada sesama. Oleh karena itu, Allah mengulang-ulang perwajiban shalat di dalam Al-Qur’an dalam banyak ayat, dan tiada Allah menyebutnya kecuali selalu digandengkan dengan perwajiban zakat.

Diantaranya, adalah firman Allah:
“Dan tegakkanlah shalat, dan tunaikanlah zakat.” Q.S. Al-Baqarah: 110.
“Dan jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka mereka sudah menjadi saudara-saudara kalian dalam agama Islam ini.” Q.S. Al-Taubah: 11
“Dan tiadalah mereka diperintahkan, kecuali agar mereka beribadah hanya kepada Allah semata, dengan penuh ketundukan lagi lurus, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Dan, itulah agama yang lurus.” Q.S Al-Bayyinah: 5.

Dalam shahihain (Bukhari dan Muslim), dari hadits Abu Hurairah, dan Imam Muslim meriwayatkannya dari Umar:
“Sesungguhnya Jibril pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang Islam, maka beliau SAW menjawab: “Syahadat laa ilaaha illallah, dan sesungguhnya Muhammad adalah rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan haji ke baitullah.”

Dan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Aku diperintah Allah untuk memerangi manusia, sehingga mereka mau berikrar “Laa ilaaha illallah dan sesungguhnya Muhammad adalah rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat; jika mereka sudah menunaikan hal-hal itu, maka selamatlah darah dan harta mereka kecuali atas dasar haknya, dan urusannya terserah kepada Allah.”

Dan ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda:
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah da’wahmu yang pertama dengan syahadatain, jika mereka mentaatimu dalam hal ini maka beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari-semalam, jika mereka mentaatimu dalam hal ini, maka Allah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari kalangan orang-orang kayanya dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka. Maka, jika mereka mentaatimu dalam hal ini, ambillah dari mereka, dan hati-hati engkau jangan sampai mengambil harta yang paling bagusnya, dan takutlah engkau dari doa’-do’a orang yang terdzalimi, sebab antaranya dengan Allah tidak ada hijab.” Bukhari dan Muslim.***

B. Pengkorelasian shalat dengan zakat

Allah menyebut antara shalat dan zakat di dalam Al-Qur’an secara global, maka Rasulullah SAW menjelaskan detailnya, dan penjelasan Rasul itu pun adalah bagian dari wahyu, sebab Allah telah menurunkan kepadanya kitab dan hikmah.

Hissan ibn Athiyah mengatakan:
“Jibril turun kepada Rasulullah SAW dengan membawa as-sunnah dan mengajarkannya, sebagaimana ia mengajarkan kepada Rasulullah tentang Al-Qur’an.”

Tentang hal ini sudah saya kemukakan dibagian pengantar. Dan maksud as-sunnah di sini adalah tentang zakat. Maka, kami akan kemukakan apa yang bisa kami kemukakan dalam kesempatan ini seputar:

Hukum-hukumnya;

Sebagian hadits-hadits tentang zakat, serta

Sebagian ungkapan-ungkapan atau perkataan para ahli fiqh.


C. Pengertian Zakat

Allah terkadang menyebut zakat sebagai shadaqah, dan terkadang juga dengan nama zakat. Dan kata “zakat” secara bahasa, berarti tumbuh dan berkembang-biak. Dan sesuatu tidak dikatakan berkembang kecuali jika bersih dari toksin atau racun yang bisa merusak perkembangan dan pertumbuhannya. Oleh karena itu, kata “zakat” dalam syariat Islam berarti kesucian.

Allah berfirman: “Sungguh, sangat beruntung orang-orang yang mensucikan jiwanya.” Al-Syams: 9.

Allah berfirman:
“Sungguh, sangat beruntung orang yang mensucikan diri.” Q.S. Al-A’laa: 14.

Secara maknawi, jiwa orang yang bershadaqah menjadi suci, hartanya juga menjadi suci, bertambah bersih, dan berkembang.

Dan syariat Islam telah memahamkan kepada kita bahwa pensyariatan zakat adalah untuk pemerataan, dan tiadalah akan terjadi pemerataan kecuali terhadap orang yang memiliki harta kemudian menentukan bagian tertentu dari harta tersebut, kemudian mempostingnya dalam harta yang tertimbun/tersimpan. Diantara harta yang seperti ini adalah harta yang bisa berkembang dengan sendirinya, seperti hewan dan tumbuhan/tanaman; juga ada yang berkembang dengan diputar atau diberdayakan seperti uang. Allah menjadikan harta yang terambil menjadi bagian hak zakat menurut kadar kecapekan atau kesusahannya. Maka, barang yang diperoleh dari harta-harta jahiliyah (harta karun), dan ini lebih sedikit tingkat kecapekan atau kesusahan dalam mendapatkannya, maka zakatnya adlah 1/5 atau 20 %. Kemudian, harta yang diperoleh dengan capek atau susah-payah dari satu jalan saja, maka zakatnya adalah setengah dari 1/5 harta, atau sama dengan 10 % untuk yang diairi dengan air hujan. Dan untuk harta yang diperoleh dengan kecapekan atau kesusahan dua aspek, maka zakatnya adalah ¼ dari 1/5 total harta, yaitu sama dengan 5 % untuk yang diairi dengan pembiayaan irigasi. Dan harta yang diperoleh dengan kadar kecapekan dan kesusahan sepanjang tahun, seperti modal usaha, maka zakatnya adalah dengan nilai nominalnya, yaitu ¼ dari 1/10 total harta, atau sama dengan 2,5 %.***

D. Harta wajib zakat

Imam Malik mengawali pembahasan zakat dalam kitabnya “Al-Muwaththa”, dengan menukil hadits Abu Said, sebab hadits ini merupakan hadits yang terkuat dalam masalah ini. Demikian juga yang dilakukan oleh Imam Muslim dalam shahihnya. Di dalam hadits tersebut disebutkan tentang nishab untuk uang, unta, biji-bijian, buah-buahan, hewan ternak, modal usaha, di sini semuanya harus memenuhi syarat haul (12 bulan berjalan).

Penyebutan syarat haul adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, ibn Umar tentang diperhitungkannya haul dalam syarat zakat, walaupun Muawiyah dan Ibn Abbas telah menyelisihi mereka bertiga..Maka, apa yang diriwayatkan dari Al-Khulafa’ Al-Rasyidun Al-Mahdiyun (khalifah-khalifah yang terbimbing dan tertunjuki jalan kebenaran) adalah hujjah untuk mematahkan alasan orang-orang yang menyelisihi mereka bertiga. Apalagi tentang Abu Bakar Al-Shiddiq, dimana Rasulullah pernah bersabda: “Kewajiban kalin untuk mengikuti sunnahku dan sunnah-sunnah khalifah yang terbimbing dan tertunjuki jalan kebenaran setelahku.”

Dan sabda Rasulullah SAW:
“Dan jika suatu kaum mentaati Abu Bakar dan Umar maka mereka akan tertunjuki jalan kebenaran.”

Kemudian Imam Malik menyebutkan tentang nishab zakat emas, dan hujjah (kekuatan dalilnya) dalam masalah zakat emas ini jauh lebih kuat daripada hujjah untuk zakat uang, oleh karena itu aku akan mengakhirkan pembahasannya.

Kemudian, Imam Malik menyebutkan harta-harta apa saja yang diambil zakatnya, Maka beliau pun menyebutkan ayat-ayat dan hadits terkait. Dan hadits yang paling bagus dalam hal ini adalah hadits Umar ibn Khaththab ddan suratnya tentang zakat. Dan Imam Malik menyebutkan dari Umar ibn Abdul Aziz: “Sesungguhnya zakat tidak ditetapkan kecuali atas modal usaha, tanaman, dan hewan.” Dan Imam Malik pun mengambil hadits tersebut sebagai madzhabnya.

Imam ibn Abdil Barr mengatakan: “Dan ini adalah ijma’ ulama Islam, sebab zakat adalah sebagaimana yang sudah disebutkan tadi. Imam Ibn Al-Mundzir menyatakan: “Seluruh para ulama sudah sepakat bahwasannya zakat diwajibkan di dalam sembilan jenis harta:

Unta,

Sapi,

Kambing,

Emas,

Perak,

Gandum jenis bagus

Gandum jenis jelek

Kurma masak, dan

Anggur

Ini, jika setiap jenis harta tersebut telah mencapai nishab (kadar tertentu yang menyebabkan ia wajib ditunaikan zakatnya).

E. Nishab Zakat

Di dalam shahihain, disebutkan hadits dari Abu Said al-Khudri, Nabi SAW bersabda:
“Tidak ada zakat jika panen kurang dari 5 wasaq, tidak ada zakat jika hewan ternak kurang dari 5 dzaud, tidak ada zakat jika uang kurang dari 5 uqiyah. Dan beliau SAW menunjukkan dengan kelima jemari tangannya.”

Dan dalam lafadz hadits: “Tidak ada zakat jika kurang dari lima wasaq, baik kurma ataupun biji-bijian.” HR. Bukhari dan Muslim.

Dan lafadz: “Tidk ada zakat jika kurang dari 5 uqiyah.” Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir.

Imam muslim meriwayatkan dari Jabir, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Setiap sesuatu yang diairi oleh sungai dan hujan, zakatnya seper sepuluh (10 %), dan setiap sesuatu yang diairi dengan irigasi zakatnya setengah dari seper sepuluh (5 %).

(Terfahami dari hadits ini, adalah bahwa di zaman Nabi SAW, sungai bukan bagian dari irigasi, ini berbeda dengan yang dimaksud oleh teknologi pertanian modern, sebab sekarang ini, sungai merupakan bagian dari teknik irigasi yang tentu saja dengan pembiayaan –pent).

Imam Bukhari meriwayatkan hadits ibn Umar dengan lafadz: “Setiap tanaman yang diairi dengan hujan dan mata air atau air yang mengalir, zakatnya adalah seper sepuluh (10 %), dan yang diairi dengan irigasi, zakatnya adalah setengah dari seper sepuluh (5 %).”

Di dalam kitab Al-Muwaththa’ disebutkan “Tanaman yang diairi dengan mata air dan air mengalir dan tidak butuh akan pengairan dari orang lain --zakatnya adalah seper sepuluhnya (10 %).”

Abu Umar ibn Abdil Barr menyatakan: “Hadits pertama tadi memiliki sejumlah manfaat, diantaranya:

Wajibnya zakat atas harta-harta tersebut di atas, adalah dalam ukuran tertentu dan tidak diwajibkannya jika kurang dari ukuran itu.

Dzaud adalah istilah untuk kepemilikan unta antara 3 hingga 10 ekor.

Uqiyah adalah ukuran timbangan, 1 uqiyah sama dengan 40 dirham.

Nusy adalah ½ dari 1 uqiyah (berarti sama dengan 20 dirham atau 2 dinar -pent).

Nuwah adalah 5 dirham.


Abu Ubaid Al-Qashim ibn Sallam mengatakan: “Dan uang yang melebihi 200 dirham --sama dengan 5 uqiyah-- menurut tekstual hadits ini maka wajib dizakati karena tidak adanya nash tentang selebihnya dan tidak kena kewajiban zakat apa yang kurang darinya. Maka wajib zakat jika mencapai 5 uqiyah atau lebih. Dan mayoritas ulama mengambil hadits ini sebagai madzhabnya. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Ibn Umar, dan ini adalah madzhab Malik, Al-Tsauri, Al-Auza’iy, Laits, Ibn Abi Laila, Al-Syafi’iy, Abu Yusuf, Muhammad, Ahmad, Ishhaq, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sebagian ulama lainnya menyatakan: “Tidak ada kewajiban zakat untuk jumlah kelebihannya kecuali kalau mencapai 40 dirham.”

Emas, diwajibkan zakatnya jika mencapai 4 dinar. Hal ini diriwayatkan (dalam teks disebut oleh Syaikhul Islam dengan kata “yurwa” untuk menunjukkan dhaif/lemahnya pandangan ini -pent) dari Umar, demikian juga ungkapan Said dan Al-Hasan, Thawus, Atha, Al-Zuhri, Mak-hul, Amr ibn Dinar, dan Abu Hanifah. Adapun jika hasil panen melebihi berat 5 wasaq, maka seluruh ulama menyepakati akan perwajiban zakatnya, tanpa ada khilaf sedikitpun.

F. Nishab uang, emas, dan perak

Nishab uang yang diwajibkan zakat adalah 200 dirham berdasarkan hadits tersebut di atas. Yaitu ucapan Rasulullah SAW: “Lima uqiyah uang.” Dan ini disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh madzhab. Di dalam hadits Anas, masih dalam shahihain, disebutkan: “Dan uang, zakatnya ¼ dari 1/10 total harta (maksudnya adalah 2,5 % -pent).

Adapun nishab untuk emas, Imam Malik telah mengatakan di dalam kitabnya Al-Muwaththa: “Yang sudah menjadi sunnah, yang tidak ada khilaf sedikitpun, menurut kami adalah: “Sesungguhnya zakat diwajibkan atas 20 dinar, atau 200 dirham.” (Al-Muwaththa’ 1/250). Imam Malik telah menyatakan hal ini sebagai ijma’ seluruh ulama Madinah, dan tidak ada khilaf sedikitpun kecuali dari jalan Al-Hasan yang mengatakan: “Tidak ada kewajiban zakat kecuali jika mencapai 40 mitsqal.” Hal ini dinukil oleh Imam Ibn Al-Mundzir. Adapun hadits yang diriwayatkan seputar hal ini (tentang 40 mitsqal –pent), maka hadits tersebut kedudukannya dhaif/lemah.

Adapun jika kurang dari 20 dinar, jika nilai nominalnya tidak mencapai 200 dirham, maka tidak ada zakatnya berdasarkan ijma’ seluruh ulama Islam. Namun, walaupun jumlahnya kurang dari 20 dinar, akan tetapi nilai nominalnya mencapai 200 dirham, maka ada zakatnya menurut sebagian ulama salaf.

Ayat Al-Qur’an dan hadits menunjukkan atas wajibnya zakat atas kepemilikan emas. Ayat Al-Qur’an dan hadits juga menyatakan wajibnya zakat atas kepemilikan perak. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tiada menginfaqkannya di jalan Allah, maka … dst.” Q.S. Al-Taubah: 34).

Nabi SAW bersabda:
“Tidak ada seorangpun dari pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan zakatnya, kecuali akan … dst..” HR. Muslim 24/987.

Tentang ini, akan kami terangkan kemudian, insya Allah, baik yang dikonversikan dengan dirham, dinar, ataupun yang tidak.***

G. Penggabungkan harta zakat.

Apakah emas ditambahkan (digabungkan) kepada perak agar tercapai nishab, lalu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak? Tentang hal ini ada sejumlah perkataan ulama:

Tidak ditambahkan. Ini adalah pandangan yang dilontarkan oleh Imam Syafi’i, dan diriwayatkan dari Syuraik dan Al-Hasan ibn Shalih.

Ditambahkan, sebab emas adalah sejenis dengan perak, akan tetapi uang tidak ditambahkan kepada emas, sebab uang itu sendiri adalah harta pokok tersendiri.

Ditambahkan dengan syarat yang sedikit mengikuti yang lebih banyak. Ini adalah pandangan Imam Al-Sya’bi dan Al-Auza’i.

Ditambahkan, akan tetapi ditentukan berdasarkan nilai nominalnya. Dan ini adalah pandangan Imam Abu Hanifah dan Al-Tsauri.

Ditambahkan dengan masing-masing bagian barang lainnya, dan ini adalah pandangan dari Al-Hasan, Qatadah, An-Nakha’i. Ini juga pandangan Imam Malik, dan sahabat Abu Hanifah (Abu Yusuf). Menurut mereka, jika seseorang memiliki 10 dinar dan 100 dirham, maka sudah wajib menunaikan zakat. Akan tetapi jika 10 dinar tersebut dinilai secara nominal adalah 150 dirham, lalu ia memiliki 50 dirham, maka tidak wajib zakat karena 1 dinar dalam zakat adalah 10 dirham bukan 15 dirham. Maka penambahan atau penggabungan masing-masingnya adalah dengan sistem bagian harta tersebut bukan berdasarkan nilai nominal.


H. Persyaratan Haul

Haul merupakan syarat dalam perwajiban zakat uang, hewan ternak, sebagaimana Rasulullah SAW mengutus para pegawainya untuk mengambil zakat pada setiap tahun sekali. Hal ini juga dilaksanakan oleh para khalifah setelahnya, baik untuk harta hewan ternak maupun uang simpanan. Hal ini karena mereka mengetahuinya dari sunnah Nabi SAW.

Imam Malik meriwayatkan dalam kitabnya Al-Muwaththa dari Abu Bakar Al-Shiddiq, Utsman ibn Affan, dan Abdullah ibn Umar, mereka bertiga mengatakan: “Ini adalah bulan dimana kalian harus menunaikan zakatnya.” Mereka mengatakan pula: “Tidak diwajibkan zakat atas harta sehingga harta tersebut telah melewati masa putaran 1 tahun.” (Al-Muwaththa 1/253).

Abu Umar ibn Abdil Barr mengatakan: “Hadits ini juga diriwayatkan dari Ali, Abdullah ibn Mas’ud, dan dipegang teguh oleh para ahli fiqh dahulu dan sekarang, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Muawiyah dan ibn Abbas, sebagaimana yang telah kami kemukakan di awal.”

Maka,:

Siapa yang memiliki satu nishab emas atau uang, lalu uang atau emas itu tetap padanya selama satu tahun, maka sudah wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya.

Jika memiliki harta namun kurang dari nishab, lalu memiliki sesuatu yang kemudian menjadi penambah sehingga mencapai pas 1 nishab, maka harta yang pertama itu ditentukan perhitungan awal haulnya pada saat penggabungan dengan harta yang kedua, yaitu pada saat mencapai nishab.

Jika seseorang memiliki satu nishab kemudian dalam perjalanan waktu berikutnya ia memiliki lagi harta yang juga mencapai nishab, maka masing-masing harta tersebut ditentukan haulnya sendiri-sendiri.

Adapun laba atau keuntungan usaha tidak dipisahkan dari modalnya, akan tetapi digabung dengan modal awalnya. Penunaian zakat laba/keuntungan mengikuti zakat modal usahanya tersebut jika memang mencapai nishab. Akan tetapi jika tidak mencapai nishab, maka penggenapannya untuk mencapai nishab dengan menambahkan keuntungannya itu. Dalam kasus ini, ia diwajibkan zakat menurut Imam Malik, walaupun pada saat itu ia masih memiliki barang dagangan yang belum laku terjual, lalu ia memiliki sesuatu harta yang menyebabkan jumlahnya mencapai 1 nishab, maka ia tetap wajib menunaikan zakatnya.


I. Zakat Barang Perniagaan

Adapun barang perniagaan, maka ia wajib dizakati. Ibn Al-Mundzir menyatakan: “Para ulama telah sepakat atas sesungguhnya barang perniagaan ada kewajiban zakatnya, jika telah melewati putaran 1 tahun.” Hal ini diriwayatkan dari Umar, ibn Umar, Ibn Abbas. Hal ini juga dipegang teguh oleh tujuh ahli fiqh Islam terkemuka, Al-Hasan, Jabir ibn Yazid, Maimun ibn Mihran, Thawus, Al-Nakha’i, Al-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Ahmad, Ishhaq, Abu Ubaid. Dan dikisahkan oleh Imam Malik dan Daud: “Tidak ada zakat atas barang perniagaan.”

Dalam sunan Abu Daud dari Samurah, katanya:
“Nabi SAW menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat atas barang yang kami persiapkan untuk dijual.” HR. Abu Daud 1562.

Dan diriwayatkan (teks aslinya adalah berbunyi “ruwiya” untuk menunjukkan dhaif/lemah –pent) dari Hammas, katanya: “Umar pernah lewat di depanku, maka ia mengatakan: “Tunaikanlah zakat hartamu.” Maka aku pun menjawab: “Aku tidak punya apa-apa kecuali alat untuk menaruh panah dan campuran roti.” Maka Umar mengatakan: “Timbang atau hitunglah, lalu tunaikanlah zakatnya.”

Dan kisah ini begitu masyhur dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Maka ini juga merupakan ijma’.

Adapun Imam Malik, maka menurut beliau, bahwasannya perniagaan ada dua macam:

Barang yang di stok di gudang-gudang, yaitu barang produksi yang masih ditunggu di pasaran, maka terkadang pasar menunggu kedatangan barang itu beberapa tahun lamanya. Untuk barang demikian tidak kena zakat, kecuali jika barang produksi tersebut sudah dijual, maka dizakati untuk tahun pertama. Dalilnya adalah bahwa zakat disyariatkan terhadap harta yang tidur/harta yang tertimbun. Maka, jika barang produksi itu dizakati setiap tahunnya, tentu akan mengurangi harganya dibanding ketika ia dibeli sebelumnya, dan ini merugikannya. Jika ia dizakati ketika dijual, jika mendapatkan laba, maka laba tersebut adalah sebagai penambahnya, maka dikeluarkan zakatnya. Dan tidaklah ditunaikan zakatnya kecuali jika dijual dengan nilai mencapai nishab, lalu dizakati setelahnya, baik banyak ataupun sedikit.

Barang yang berputar. Adapun yang kedua ini adalah barang produksi yang sudah ada di masa haul, maka barang produksi itu tidak tetap terus ada ditangannya. Maka, zakatnya dalah dalam satu tahun untuk keseluruhan harta tersebut, dengan cara menentukan 1 bulan untuk menghitung barang niaga dan uangnya, serta piutang yang ada ditangan orang yang dimungkinkan bisa kembali, dari itu semua, lalu dikeluarkan zakatnya. Ini jika harta itu ada ditangannya pada tahun/haul tersebut --walaupun sebesar 1 dirham-- namun jika ia tidak menjual dengan uang maka tidak ada zakat atasnya.


J. Zakat Perhiasan


Adapun untuk perhiasan, maka khusus perhiasan yang dimiliki oleh wanita, maka tidak ada perwajiban zakatnya menurut Imam Malik, Laits, Syafi’i, Ahmad, Abu Ubaid. Ini juga diriwayatkan dari Aisyah, Asma, Ibn Umar, Anas, Jabir, dan sejumlah tabi’in. Sebagian lainnya menyatakan: “Tetap ada zakatnya.” Yang kedua ini adalah pandangan dari Umar, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ibn Umar, dan sejumlah tabi’in. Ini juga merupakan pandangan Abu Hanifah, Tsauri dan Auza’i.


Adapun perhiasan laki-laki, maka semua yang diperbolehkan oleh syariat, tidak ada zakatnya, seperti perhiasan pada pedang, cincin dari perak.


Adapun perhiasan yang diharamkan dari memakainya, seperti bejana (piring, mangkok, dll –pent), maka ada zakatnya.


Khusus untuk barang yang diperselisihkan oleh para ulama, maka para ulama juga berselisih pendapat tentang wajib-tidaknya zakat. Imam Malik dan Syafi’i berpandangan ada zakatnya dan tidak diperbolehkan untuk mengambilnya; sedangkan Abu Hanifah dan Ahmad berpandangan boleh saja mengambilnya jika hiasannya berupa perak.


Adapun perhiasan kuda, seperti panah, tombak, dan pelana, maka menurut padangan jumhur ulama, ada zakatnya, baik perak maupun emas.


K. Harta Anak Yatim

Ada perwajiban zakat atas harta milik anak yatim. Ini menurut pandangan Imam Malik, Al-Laits, Al-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur. Dan hal ini juga diriwayatkan dari Umar, Aisyah, Ali, Ibn Umar, dan Jabir –Semoga Allah meridhai mereka semua. Umar mengatakan, “Perniagakanlah harta anak-anak yatim, jangan dimakan oleh zakat.” Aisyah juga mengatakan demikian Hal ini juga diriwayatkan dari Al-Hasan ibn Ali. Juga, ini merupakan pandangan Atha’, Jabir ibn Zaid, Mujahid, dan Ibn Sirin.

L. Harta Karun

Harta yang hilang, terlantar, dan yang semisalnya, menurut Imam Malik, tidak terkena zakat kecuali jika sudah ditangan (ditemukan kembali).. Apabila sudah ada di tangan, maka ada perwajiban zakatnya, yaitu satu kali pada tahun pertama. Demikian juga piutang, tidak terkena zakat kecuali jika sudah ia terima kembali piutangnya dari debitor (penghutang), zakatnya ialah satu kali. Dan ucapan Imam Malik diriwayatkan dari Al-Hasan, Atha’ Umar ibn Abdil Aziz. Akan tetapi ada ungkapan lain (dalam teks arab disebut dengan lafadz “qiila” untuk menunjukkan lemahnya pandangan berikut ini –pent): “Dikeluarkan zakatnya setiap tahun jika sudah diterima kembali piutangnya atas tahun-tahun yang sudah berlalu.”. Imam Syafi’i memiliki dua pandangan tentang hal ini.

M. Barang Mineral

Jika barang mineral dieksplorasi dan mencapai satu nishab emas, perak, maka ada zakatnya atas orang yang mengeksplorasinya. Hal ini adalah pandangan dari Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad . Imam Ahmad menambahkan, “Juga termasuk batu mulia dalam berbagai jenisnya dan aqiq.”

Imam Ishhaq dan Ibn Al-Mundzir menyatakan: “Barang-barang mineral tersebut harus dilewatkan masa kepemilikannya satu haul (12 bulan) baru dikeluarkan zakatnya.”

Imam Abu Hanifah menyatakan: “Zakatnya adalah 1/5-nya (20 %), dan tidak terkena perwajiban zakat kecuali barang mineral yang bisa dicetak, seperti besi, timah, seng, dan tidak terkena zakat atas mineral lainnya.”

Adapun barang mineral yang keluar dari dalam lautan, seperti mutiara dan marjan, maka menurut jumhur ulama, tidak ada zakatnya. Beberapa ulama berpandangan (dalam teks Arab, disebut dengan lafadz “qiila” untuk menunjukkan lemahnya pandangan berikut ini –pent): “Walaupun dari dalam lautan, tetap ada zakatnya.” Ini adalah pandangan Imam Al-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan satu riwayat dari Imam Ahmad.***

N. Zakat Uang

Dan kepemilikan hutang akan mengugurkan wajibnya zakat uang. Ini menurut pandangan Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan satu dari dua ucapan Imam Syafi’i. Ini juga merupakan pandangan Imam Atha’, Al-Hasan, Sulaiman ibn Yasar, Maimun ibn Mihran, Al-Nukha’i, Al-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, Ishhaq, dan Abu Tsaur.

Mereka berdalil dengan riwayat dari Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththa, dari jalan Saib ibn Yazid, katanya: “Aku mendengar Utsman berkata: “Ini adalah bulan dimana kalian harus mengeluarkan zakat kalian, maka siapa yang memiliki hutang, lunasilah, sehingga kalian membersihkan harta kalian dari hutang, lalu tunaikanlah zakat dari harta kalian itu.”

Imam Malik menyatakan:
“Jika ia memiliki barang perniagaan, lunasilah hutangnya, tinggalkanlah hartanya itu, dan jadikan harta itu untuk melunasi hutang-hutangnya. Dan ini pulalah yang harus ditetapkan oleh hakim dengan memisahkan harta atas sisa dari pengeluaran kebutuhan primernya. Dan jika pada saat yang sama ia juga memiliki piutang kepada debitor yang dianggap lancar, maka jadikan itu sebagai pengurang hutangnya, kemudian keluarkan zakat atas sisa hartanya itu. Namun, jika ia tidak memiliki apa-apa kecuali sekedar apa yang ada ditangannya, maka gugurlah kewajiban zakat atasnya.***

O. Zakat madu

Para ulama berselisih pendapat tentang ada-tidaknya zakat atas madu. Perselisihan ini terjadi di kalangan ulama-ulama Madinah. Imam Al-Zuhri menyatakan: “Madu ada zakatnya.” Ini juga merupakan pandangan dari Imam Al-Auza’i, Abu Hanifah, dan sahabat-sahabatnya. Juga, ini merupakan pandangan Rabi’ah, Yahya ibn Said. Zakatnya adalah 1/10-nya (maksudnya adalah 10 %). Akan tetapi, menurut pandangan dari Imam Syafi’i dan Ahmad, madu tidak ada zakatnya.***

P. Tanaman yang diairi dengan hujan dan mata air

Adapun tentang hadits yang berbunyi: “Untuk setiap tanaman yang diairi dengan air hujan dan mata air, zakatnya 1/10-nya” Tentang ini, para ulama sepakat tentang persentase zakatnya. Akan tetapi, mereka berbeda pandangan tentang jenis tanaman apa saja yang masuk dalam kategori ini.

Sebagian pertama mengatakan: “Wajibnya zakat 10 % adalah atas setiap jenis tanaman yang ditanam oleh bani Adam, seperti biji-bijian, palawija, dan semua buah-buahan yang diperjualbelikan, baik banyak maupun sedikit.” Hal ini diriwayatkan dari Hammad ibn Abi Sulaiman, Abu Hanifah, dan Zufar.

Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan:
“Tidak wajib zakat atas tanaman, kecuali tanaman yang buahnya tahan lama dan mencapai 5 wasaq.”

Imam Ahmad menyatakan:
“Wajibnya zakat 10 % adalah atas buah-buahan yang bisa dikeringkan, diawetkan, diukur dengan timbangan --seberat 5 wasaq atau lebih, baik berupa biji-bijian --seperti gandum, gabah (padi yang sudah dipanen dan dipisahkan dari jeraminya –pent), jewawut, dan biji sawi; ataupun dari jenis palawija seperti kacang-kacangan dan adas; atau dari jenis abariz seperti kasfarah, karawiya, bazar, dan berbagai biji-bijian lainnya.”

Menurut kedua ulama ini (Abu Yusuf dan Muhammad –pent), zakat juga wajib atas jenis buah-buahan dan biji-bijian yang karakteristiknya sama dengan buah-buahan atau biji-bijian di atas, seperti tamr (kurma masak), kismis, lauz, bunduq, fustaq, akan tetapi tidak wajib zakat untuk buah-buahan lainnya, sayur-mayur. Inilah ucapan Abu Yusuf dan Muhammad.

Dan pandangan serupa dikemukakan oleh Ibn Habib dari ulama Malikiyah. Ia mengatakan seperti ucapan Imam Malik, dan menambahkan: “Zakat diambil dari semua jenis buah-buahan yang pohonnya berakar tunggang, baik buahnya bisa disimpan dan bertahan lama maupun tidak.” Ia mengatakan: “Jika seseorang memiliki satu jenis buah-buahan dengan berat mencapai 5 wasaq, jika bisa dikeringkan seperti jauz, lauz, dan fustaq, maka zakatnya adalah seper sepuluhnya (10%), namun jika tidak bisa dikeringkan, seperti delima, apel, fursak, safurjal, dan yang semisalnya, dan mencapai berat 5 wasaq dalam keadaan masih segar, maka wajib ditunaikan zakatnya. Jika sudah dijual sebelumnya, maka zakatnya adalah seper sepuluh (10 %) dari total nominalnya, namun jika belum dijual diambil zakatnya 10 %-nya.

Imam Malik dan para sahabatnya mengatakan dalam berbagai ungkapan mereka yang masyhur bahwasannya zakat diwajibkan atas gandum dalam berbagai jenis dan kualitasnya, biji sawi, jewawut, gabah, hamsh, adas, jalbab, rusy, buslah, samsam, masy, biji fajl, dan berbagai biji-bijian yang bisa dikonsumsi dan disimpan untuk waktu lama.

Zakat ini diwajibkan atas tiga jenis buah-buahan: kurma masak (tamr), kismis, dan zaitun. Imam Syafi’i mengatakan: “Diwajibkan zakat atas buah-buahan adalah untuk buah-buahan yang bisa dikeringkan, disimpan, dimakan langsung atau dimasak, atau bisa dijual.” Tentang buah zaitun, Imam Syafi’i memiliki dua ucapan. Dan wajib zakat, menurut beliau, atas kurma masak (tamr) dan kismis.

Imam Laits ibn Sa’ad mengatakan: “Setiap sesuatu yang bisa dibuat adonan, maka ada zakatnya, termasuk diantaranya kurma masak, kismis, dan zaitun.” Demikian juga Imam Tsauri --mewajibkan zakat atas zaitun-- Imam Auza’i dan Zuhri. Hal ini juga diriwayatkan dari Ibn Abbas. Imam Auza’i mengatakan: “Telah berlalu sunnah Nabi bahwasannya zakat adalah diwajibkan atas gandum dalam berbabagi jenis dan kualitasnya, jewawut, kurma masak, anggur, dan zaitun.” Imam Ishhaq menyatakan: “Setiap buah dan biji-bijian yang bisa dibuat adonan, maka ada kewajiban zakatnya.”

Dan menurut Imam Ibn Al-Mundzir, zakat hanya diwajibkan atas sembilan bahan pokok saja, yaitu:
Tamr (kurma masak);

Kismis;

Jewawut;

Gandum;

Perak;

Emas;

Unta;

Sapi; dan

Kambing
Seluruh ulama di atas menyatakan wajibnya zakat atas buah-buahan dan biji-bijian jika mencapai minimal 5 wasaq, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Mujahid dan Abu Hanifah. Keduanya mengatakan: “Buah-buahan dan biji-bijian tetap diwajibkan zakat walaupun sedikit (kurang dari 5 wasaq).” Walaupun begitu, keduanya tetap mensyaratkan buah atau biji-bijian itu harus yang bisa dikeringkan, dibersihkan. Buah zaitun mengkel, anggur mengkel, ruthab (kurma mengkel) dikeluarkan zakat dari nilai nominalnya ataupun dari buahnya. Imam Malik menyatakan: Apabila buah-buahan atau biji-bijian itu mencapai 5 wasaq, kemudian dijual, maka keluarkanlah zakat darinya dalam bentuk nilai nominal (uang).

Q. Penggabungan biji-bijian dalam perzakatan

Gandum dalam berbagai jenis dan kualitasnya, baik yang bagus, jelek, pecah, atau jenis kepala, digabungkan menjadi satu lalu dikeluarkan zakatnya, demikian juga untuk jenis buah-buahan atau biji-bijian lainnya. Demikian hasil panenan yang ada diberbagai negeri, namun jika masih tetap milik satu orang, maka semuanya digabungkan lalu dikeluarkan zakatnya. Adapun perserikatan, maka setiap bagian perorangannya harus mencapai nishab.***


R. Konversi wasaq

Satu wasaq adalah 60 sha’. Sementara itu, satu sha’ = 4 mud dengan ukuran mud nabawy. Sementara itu, satu mud = 5,33 ritel baghdad. Satu ritel Baghdad = 28 dirham. Dan dirham yang dimaksud di sini adalah dirham yang berlaku pada zaman khalifah Abdul Malik. 10 dirham = 7 mitsqal. Sehingga total nishab dengan konversi ritel baghdad = 1600 ritel. Jika dikonversikan dengan ritel yang berlaku di dimasyq (Damaskus, Syuriah) = 342 ritel***

(NB. Satu wasaq = 180 kg; 5 wasaq = 9 kwintal. Konversi wasaq menjadi ukuran kilogram, silakan lihat di www.siwakz.net pada fitur nishab zakat pertanian -pent)

S. Zakat Terhutang

Siapa yang menjual buah-buahan atau menghibahkannya atau ia meninggal setelah buah itu siap untuk dipanen, maka ia terkena perwajiban zakat. Namun, jika ia meninggal pada saat buah belum siap panen, maka zakat diwajibkan atas orang yang membeli hasil panennya kelak, barang yang dihibahkan, dan harta warisan jika setiap bagian waris tersebut mencapai nishab.

T. Pertanian dengan dua sistem pengairan

Dan tidak ada perwajiban zakat atas hasil panen kecuali jika mencapai 5 wasaq per satu jenis panenan. Qamh, Sya’ir (gandum jenis jelek), dan sulat (gandum jenis kepala), menurut Imam Malik, adalah satu jenis. Demikian juga palawija, yaitu kacang-kacangan, adas, dan yang semisalnya, adalah satu jenis menurut Imam Malik.

Kadar zakat yang dikeluarkan adalah tergantung kadar kesulitan dalam merawat tanaman dan kemudahannya. Hal ini berdasarkan hadits: “Tanaman yang diairi dari langit, sungai, mata air, maka zakatnya adalah seper sepuluh (10 %); dan yang diairi dengan air yang diusung dengan unta, maka zakatnya adalah setengah dari seper sepuluh (5 %); dan yang diairi dengan 50 % air hujan dan 50 % irigasi, maka zakatnya adalah tiga bagian dari seper sepuluh yang dibagi empat (7,5 %).

U. Zakat Tanaman Milik Sendiri

Setiap tanaman yang dikelola dan menjadi milik sendiri, maka ia wajib menzakatinya.
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah satu bagian dari hasil usahamu yang baik dan hasil bumimu, dan janganlah kalian mencampur antara barang yang baik dengan yang buruk untuk diinfaqkan, sedangkan kalian sendiri tidak berhasrat untuk memilikinya.” Q.S. Al-Baqarah: 267

Maka, baik lahan itu miliknya sendiri atau lahan sewaan, atau lahan yang dititipkan kepadanya oleh pemimpin (khalifah) lalu ia mengolahnya, atau meminjamnya, ataupun lahan wakaf, maka ia wajib mengeluarkan zakat dari hasilnya.

Imam Ibn Al-Mundzir mengatakan: “Para ulama yang kami ambil ilmu dari mereka telah sepakat bahwasannya setiap lahan yang dimiliki seseorang, maka jika ditanami, maka ada perwajiban zakat atas mereka, demikian juga lahan yang ada perjanjiannya.

Siapa yang menyewa lahan untuk ditanami, maka ia wajib menunaikan hak zakatnya menurut jumhur ulama, seperti Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Yusuf, dan Muhammad. Demikian juga lahan yang digarapkan kepada orang lain, maka pemilik tanah menunaikan zakat sebesar 10 %, jika semua hasil panen menjadi miliknya, dan ia menggaji petani atas perawatan pertaniannya, maka zakatnya adalah 10 %; jika hasil panennya dibagi paroan (Bahasa Jawa, artinya 50:50 -pent) atau mertelu (Bahasa Jawa, artinya 2/3:1/3, 2/3 untuk pemilik lahan dan 1/3 untuk penggarap) atau paroan atau 1/3-nya untuk pemilik lahan, maka masing-masing wajib menunaikan zakat 10 % dari hasil panen yang sudah dibagikan kepada masing-masingnya, sebab tanaman tersebut tumbuh dan berkembang atas kepemilikannya. Inilah ucapan ulama-ulama Islam.

Nabi Muhammad SAW mengambil dari para sahabatnya seper sepuluh (10 %) untuk kemudian beliau menyalurkan kepada para mustahiqnya. Lalu, Beliau menyuruh para sahabat tersebut untuk menginfaqkan dalam jihad atas harta yang selebihnya. Jika ada seorang tentara yang diberi dana untuk ia berjihad, maka yang utama adalah ia diberi 10 %. Siapa yang dititipi lahan oleh pemimpin untuk dikelola dan untuk dana jihad, lalu tumbuhlah tanaman atas kepemilikannya itu, maka para ulama mengatakan tidak ada kewajiban 10 % zakat atasnya.

Para ulama berbeda pandangan tentang orang yang berhak mendapatkan manfaat atas barang, seperti penyewa rumah, atau yang lainnya, maka jumhur ulama menyatakan: “Ia wajib menunaikan zakat 10 %.” Ini adalah ucapan para sahabat Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Adapun Abu Hanifah sendiri mengatakan: “Kewajiban zakat 10 % adalah atas pemilik tanah, bukan atas penyewanya.”

Para pemilik lahan garapan, jika ia menyewakan lahan tanahnya, lalu ia membantu dengan tenaganya untuk mengelola pertaniannya, maka mereka wajib menunaikan zakat 10 %, menurut jumhur ulama. Pandangan ulama lain, wajibnya 10 % adalah atas penyewanya. Maka, siapa yang menyatakan bahwa besaran zakat 10 % yang Allah tetapkan untuk para mustahiq, gugur dan tidak wajib atas pemilik lahan garapan, maka ia telah menyelisihi ijma' ulama.

Apalagi, para tentara itu tidaklah digaji. Akan tetapi, mereka adalah tentara-tentara Allah; mereka berperang fii sabilillah sebagai ibadah; mereka mengambil rizqi ini (hak mustahiq fii sabilillah) dari baitul mal sekedar untuk menolong atau membantu mereka dalam rangka jihad. Dan semua yang mereka terima bukanlah harta milik kepala negara, akan tetapi harta Allah yang dibagikan oleh waliyul amr kepada para mustahiqnya. Maka, siapa yang menjadikan bagian itu sebagai gaji, maka ia telah menjadikan jihad mereka untuk selain Allah.

Tentang ini, ada hadits yang berbunyi:
“Seperti orang-orang yang berperang dari kalangan ummatku, mereka menerima harta yang diberikan kepada mereka seperti ibunya Musa yang menyusui anaknya (Musa), lalu iapun mengambil upahnya.” HR. Abu Daud dalam Al-Marasil 332, Baihaqi dalam Al-Sunan Al-Kubra 9/27, Sa’id ibn Manshur dalam Sunan-nya 2361, Ibn Abi Syaibah dan Mushannaf-nya 5/347, Suyuthi dalam Dur Al-Manstur 5/122, seluruhnya dari jalan Jubair ibn Nufair.***

V. Petani yang Memiliki Hutang

Jika pemilik tanaman dan buah-buahan itu mempunyai hutang, apakah kewajiban zakat gugur atasnya? Tentang hal ini, ada tiga pandangan ulama (Ibn Taimiyah dalam perinciannya menyebutkan empat –pent):

Tidak gugur sama sekali. Ini adalah pandangan Imam Malik, Al-Auza’i, Syafi’i, dan satu riwayat dari Imam Ahmad;

Gugur kewajiban zakatnya. Ini adalah pandangan Imam Atha, Al-Hasan, Sulaiman ibn Yasar, Maimun ibn Mihran, Al-Nukha’i, Laits, Tsauri, dan Ishhaq. Demikian juga kepada pemilik ternak unta, sapi, dan kambing.

Gugur zakat atas hutang yang digunakan untuk membiayai pertaniannya, dan tidak gugur zakat atas hutang untuk pembiayaan hidup keluarganya;

Gugur kewajiban zakat, baik hutangnya untuk pembiayaan pertanian ataupun hutang untuk pembiayaan hidup keluarganya.

Pandangan yang pertama adalah pandangan Ibn Abbas, dan ini pulalah yang dipilih dan dipegang oleh Imam Ahmad dan selainnya. Adapun pandangan yang kedua dipegang oleh Abdullah ibn Umar.***

W. Zakat Ruthab

Ruthab (Kurma yang menkel dan belum masak) dan zaitun yang belum diambil sarinya, anggur yang belum menjadi kismis, maka menurut Imam Malik dan ulama lainnya, ditunaikan zakat dari nilai nominalnya jika ditimbang mencapai 5 wasaq, walaupun harganya tidak mencapai 200 dirham, walaupun dijual sebelum benar-benar mengkel, maka ditunaikan zakat dari nilai nominalnya. Ulama lain menyatakan: “Zakat dikeluarkan dari buah tersebut atau minyaknya.”***

X. Zakat Hewan Ternak

Demikian tadi di atas adalah penjelasan tentang perwajiban zakat uang, emas, perak, dan tanaman berdasarkan dalil-dalil hadits dan ayat-ayat Al-Qur’an.

Adapun zakat hewan ternak: unta, sapi, dan kambing, maka ini semua sudah ditunjukkan dalilnya menurut hadits-hadits shahih, Nabi SAW pun sudah menuliskan ketentuannya, Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar, dan para sahabat yang lainnya juga sudah menuliskannya

Dalam sebuah hadits shahih dari Anas ibn Malik --lafadz berikut ini adalah dalam riwayat Bukhari-- sesungguhnya Abu Bakar pernah menulis surat kepadanya (Anas ibn Malik) ketika dirinya hendak pergi ke Bahrain:

Bismilahirrahmanirrahim,
Berikut ini adalah perwajiban-perwajiban zakat yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah kepada muslimin, dan ini pulalah yang sudah Allah dan Rasul-Nya tetapkan ; maka siapa yang meminta bagian zakat ini, asalkan ia adalah muslimin dan mustahiq, hendaklah diberikan kepadanya, dan siapa yang memintanya melebihi kadarnya, maka jangan diberi:

Untuk setiap 24 ekor unta, setiap lima ekornya dizakati 1 ekor kambing;

Jika mencapai 25 s/d 35 ekor unta, zakatnya adalah satu ekor bintu makhad ;

Jika mencapai 36 s/d 45 ekor unta, zakatnya adalah satu ekor bintu labun;

Jika mencapai 46 s/d 60 ekor unta, zakatnya adalah satu ekor hiqqah

Jika mencapai 61 s/d 75 ekor unta, zakatnya adalah satu ekor jadza’ah;

Jika mencapai 76 s/d 90 ekor unta, maka zakatnya adalah dua ekor bintu labun;

Jika mencapai 91 s/d 120 ekor unta, zakatnya adalah dua hiqqah;

Jika melebihi 120, zakatnya dihitung untuk per 40-an atau per 50-an:

Untuk setiap 40 ekor zakatnya, zakatnya satu ekor bintu labun;

Untuk setiap 50 ekor, zakatnya satu hiqqah;

Dan siapa yang tidak memiliki unta, kecuali hanya 4 ekor, maka tidak ada perwajiban zakatnya sampai kapan pun; namun jika mencapai 5 ekor, maka zakatnya adalah satu ekor kambing.

Dan zakat atas kambing adalah:

Untuk setiap kambing gembalaan dengan jumlah 40 s/d 120, zakatnya satu ekor kambing;

Untuk jumlah diatas 120 hingga 200 ekor, zakatnya dua ekor kambing;

Untuk jumlah di atas 200 hingga 300 ekor, zakatnya tiga ekor kambing;

Untuk jumlah di atas 300 ekor, maka dibuat per 100-an ekor, setiap 100 ekornya dizakati satu ekor kambing.

Dan jika jumlah kambing gembalaan seseorang mencapai 40 ekor kurang satu (39 –pent), maka tidak ada perwajiban zakatnya sampai kapanpun. Zakat atas emas murni (riqqah) adalah seper empat dari seper sepuluh (2,5 % -pent), jika tidak memiliki emas murni kecuali sekedar 190, maka tidak ada zakatnya hingga kapanpun.” HR. Bukhari 1454

Dan hadits dalam riwayat Anas --masih dalam surat tersebut-- tertulis:

Siapa yang memiliki kewajiban zakat sebuah jadza’ah (berarti memiliki unta sebanyak 61 s/d 75 ekor –pent), akan tetapi ia tidak memiliki jadza’ah, hanya memiliki hiqqah, maka diterima pembayaran zakatnya dengan hiqqah ditambah dua ekor kambing, jika ada, ataupun ditambah 20 dirham;

Siapa yang memiliki kewajiban zakat seekor hiqqah (berarti ia memiliki ternak unta 40 s/d 60 ekor –pent), akan tetapi ia tidak memiliki hiqqah dan hanya punya jadza’ah, maka diterima pembayaran zakatnya dengan jadza’ah, namun pezakat itu diberi uang sebanyak 20 dirham atau dua ekor kambing;

Siapa yang memiliki kewajiban zakat seekor hiqqah (hiqqah (berarti ia memiliki ternak unta 40 s/d 60 ekor –pent), sedangkan ia tidak memiliki hiqqah dan hanya punya bintu labun, maka diterima pembayaran zakat bintu labun ditambah lagi dengan dua ekor kambing atau 20 dirham;

Siapa yang memiliki kewajiban zakat satu ekor bintu labun (berarti ia memiliki ternak unta 36 s/d 45 ekor –pent), namun ia tidak punya bintu labun, dan hanya punya hiqqah, maka diterima pembayaran zakat dengan satu ekor hiqqah, maka pezakat itu diberi 20 dirham atau 2 ekor kambing;

Siapa yang memiliki kewajiban zakat satu ekor bintu labun, namun ia tidak punya bintu labun, dan hanya punya bintu makhad, maka diterima zakatnya dengan bintu makhad akan tetapi dengan tambahan 20 dirham atau dua ekor kambing. HR. Bukhari 1450

Tidak boleh menggabungkan harta zakat yang terpisah dan tidak boleh memisahkan harta zakat yang bersatu, karena takut terkena beban zakat. HR. Bukhari 1453

Dan ternak milik dua orang yang tergabung dalam satu kandang atau satu gembalaan, maka keduanya diberlakukan zakat secara adil kepada masing-masingnya. HR. Bukhari 1451

Tidak boleh menunaikan zakat dengan ternak yang harimah (ternak yang sampai tanggal giginya karena sudah tua –pent), atau yang rusak salah satu matanya, atau yang kurus, sampai kapan pun.” HR. Bukhari 1448


Masih dalam riwayat Anas ibn Malik, disebutkan:

Siapa yang memiliki kewajiban zakat seekor bintu makhad (berarti ia memiliki unta sebanyak 25 s/d 35 ekor –pent), namun ia tidak memilikinya kecuali seekor bintu labun, maka diterima zakat bintu labun itu, namun pezakat itu diberi kembalian uang 20 dirham atau 2 ekor kambing;

Jika ia tidak punya seekor bintu makhad, akan tetapi memiliki ibn labun, maka diterima pembayaran zakat ibn labun itu dan pezakat itu tidak diberi kembalian apa-apa. HR. Bukhari 1448.


Imam Malik meriwayatkan surat Umar ibn Khaththab ini dengan lafadz seperti tersebut di atas atau mirip, kecuali perihal ganti tambah dan ganti kurang dan 20 dirham, ini tidak disebutkan. (Lihat Al-Muwaththa: zakat 1/257

Keterangan tambahan: (Dari penerjemah –pent)

Bintu Makhad adalah anak sapi (bahasa Jawa Pedhet -pent) yang sudah genap berusia satu tahun dan memasuki tahun kedua;

Ibnu Labun adalah anak sapi yang sudah genap berusia dua tahun;

Hiqqah adalah anak sapi yang sudah genap berusia tiga tahun dan masuk tahun ke empat;

Jadza’ah adalah unta yang sudah genap berusia 4 tahun dan masuk tahun ke lima; sapi yang sudah genap berusia dua tahun, domba yang sudah genap berusia satu tahun, kambing yang sudah genap 6 bulan lebih;

Ternak gembalaan adalah ternak yang digembalakan di padang rumput bebas dan tanpa biaya.


Y. Hewan Ternak Non-Gembalaan

Imam ibn Al-Mundzir mengatakan: “Yang tersebut di atas, tentang detail zakat hewan ternak gembalaan, adalah sudah disepakati oleh seluruh ulama, sampai jumlah 120 ekor, dan tidak benar sama sekali tentang riwayat yang menyatakan untuk ternak sebanyak 25 ekor unta zakatnya 5 ekor kambing.”

Dan pandangan beliau tentang hadits tersebut di atas:
“Untuk ternak kambing gembala, ada perbedaan pandangan di kalangan ulama, sebab ternak gembalaan adalah yang digembalakan di padang rumput bebas.”

Madzhab Imam Malik menyatakan:
“Sesungguhnya unta yang dipekerjakan, sapi yang dipekerjakan, dan domba yang digemukkan, ada zakatnya.”

Abu Umar ibn Abdil Barr mengatakan:
“Ini adalah ucapan Imam Laits, dan aku tidak tahu ada ulama lain yang berpandangan demikian selain dua ulama ini (Malik dan Laits –pent).”

Adapun Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Tsauri, Auza’i, dan yang lainnya mengatakan:
“Tidak ada perwajiban zakat atas hewan ternak jenis ini.”

Pandangan yang terakhir ini juga merupakan pandangan sejumlah sahabat Nabi, seperti Ali ibn Abi Thalib, Jabir, Muadz ibn Jabal, dan demikian juga Umar ibn Abdul Aziz dalam surat keputusannya.

Ada riwayat dari Bahz ibn Hukaim, dari bapaknya (Hukaim), dan kakeknya, dari Nabi SAW bersabda:
“Setiap hewan ternak gembalaan, untuk tiap 40 ekor zakatnya satu ekor bintu labun.”HR. Abu Daud 1575, Nasa’i 2449, Ahmad 5/2 dan 4.

Maka, batasan zakat di sini adalah dengan kata “digembalakan”. Dan kata-kata yang bersifat umum dibawa kepada makna khusus jika masih dalam satu jenis, tanpa ada perbedaan pandangan pun di kalangan ulama. Demikian juga hadits Abu Bakar perihal kambing gembalaan.”

Sabda Rasulullah yang berbunyi:
“Seseorang yang memiliki kewajiban zakat jadza’ah atas kepemilikan tenak unta, namun ia tidak memiliki jadza’ah tersebut ... dst.” Tidak ada dalam riwayat Imam Malik, bahkan Imam Malik mengatakan: “Jika seorang pezakat tidak memiliki sapi seusia tersebut --semisal jadzaah atau yang lainnya-- maka, zakatnya adalah dengan yang terdekat dengan jadza’ah tersebut dan aku tidak suka kalau seseorang menunaikan zakat dengan nilai nominal jadza’ah.”

Imam Malik mengatakan:
“Jika tidak ditemukan ternak sesuai ketentuan usianya untuk membayar zakatnya, maka tidak boleh mengambil yang usianya diatas ketentuannya atau dibawahnya, dan tidak pula tidak menambahkan dirham, melainkan pezakat memberikan zakatnya berupa sapi musanna.

Imam Tsauri, Syafi’i, dan Ahmad mengatakan/berpendapat persis seperti yang disebutkabn di dalam hadits, yaitu jika tidak didapati zakat sesuai ketentuan seusianya, maka diambil penggantinya dari usia yang ada, serta diberikan kepada pezakat dua kambing atau 20 dirham sebagai kembalian, atau diambil zakat sebagaimana disebutkan lengkap di dalam hadits tersebut.

Dan Madzhab Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya menyatakan:
“Jika mau diambil zakat berupa nilai nominalnya atau mengambil hewan yang lebih bagus daripadanya, namun diberikan kembalian kepada pezakat.”

Imam Malik tidak mengatakan demikian, sebab Imam Malik hanya meriwayatkan hadits tentang surat Umar dan tidak meriwayatkan hadits tentang surat Abu Bakar yang menyebutkan adanya tambahan. Inilah asal-muasal perbedaan cara pandang para ulama tersebut.

Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
“Jika unta tersebut lebih dari 120 ekor, maka setiap 40 ekornya dizakati satu ekor bintu labun; setiap 50 ekornya dizakati satu ekor hiqqah.”
Tentang ini, Abu Umar ibnAbdil Barr mengatakan: “Dalam hal ini, ada perbedaan pandangan, yaitu jika lebihnya cuma satu ekor (maksudnya 121 ekor –pent); Imam Malik menyatakan bahwa jika lebihnya cuma satu ekor (121 ekor), maka amil zakat boleh memilih antara mengambil 2 ekor hiqqah atau 3 ekor bintu labun.

Imam Al-Zuhri menyatakan bahwa jika hanya lebih dari satu ekor (121), maka zakatnya 3 ekor bintu labun, hingga 130 ekor maka zakatnya satu ekor hiqqah dan 2 ekor bintu labun. Dan ini pulalah yang dipegang oleh Imam Syafi’i, Auzai, Abu Tsaur, Abu Ubaid, bahkan ini adalah pendapat Imam Muhammad ibn Ishhaq, serta pendapat para imam negeri Hijaz (Mekah dan Madinah –pent).

Pandangan yang terakhir ini yang lebih rajih (lebih dekat dengan kebenaran) menurut para ulama. Adapun pandangan para ulama Kufah tentang ternak unta yang jumlahnya lebih dari 120 ekor adalah dengan cara mengambil cara yang wajib, yaitu untuk setiap 5 ekor dizakati 1 ekor kambing.***

Z. Adil Dalam Mengambil Zakat

Rasulullah bersabda:
“Dan jangan mengambil zakat hewan ternak yang harimah (hewan yang sampai tanggal giginya karena saking tuanya), rusak matanya, dan kurus, serta yang ada luka di badannya.”

Sabda Rasulullah SAW ini dipegang dan dijadikan syarat sahnya zakat oleh seluruh ulama di berbagai negeri Islam, sebab bagian zakat yang diambil atau dikeluarkan harus atas dasar keadilan, sebagaimana perkataan Umar ibn Khaththab. Beliau mengatakan: “Ambillah zakat dengan cara yang adil dari harta yang pertengahan dan pilihan.”

Harimah atau kambing yang sudah tua dan dzat uwar (memiliki cacat) adalah dua kriteria hewan yang tidak sah jika digunakan untuk membayar zakat; kambing adalah untuk membayar zakat unta, jadza’ah untuk kambing kacangan/kambing jawa, dan tsaniyah untuk domba. Namun apabila menunaikan zakatnya dengan nilai nominalnya, tentang hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama.

Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak boleh memisahkan ternak yang tergabung dan tidak boleh menggabungkan ternak yang terpisah karena khawatir terbebani untuk membayar zakat.”

Hal ini mengandung makna, baik para pezakat atau amil zakat ataupun keduanya. Larangan Nabi SAW ini adalah tentang ternak yang bercampur, terkadang bercampur beberapa kambing, apabila dipisahkan, maka jumlah zakat yang mestinya dibayarkan menjadi lebih sedikit, ataupun sebaliknya, ada beberapa kelompok gembalaan jika digabungkan akan lebih sedikit jumlah zakat yang mestinya dibayarkan. Maka, Rasulullah SAW melarang muslimin dari melakukan praktik yang demikian.

Ada beberapa contoh deskrispi tentang larangan Nabi SAW di atas:

Misalnya ada 3 orang yang masing-masingnya memiliki 40 ekor kambing, maka total zakat 3 orang tersebut adalah 3 ekor kambing, namun, apabila digabungkan, maka zakatnya hanya satu kambing;

Ada dua orang yang memiliki 202 ekor kambing, masing-masingnya memiliki 100 ekor, maka total zakat yang mestinya ditunaikan oleh keduanya adalah 3 ekor kambing, namun, apabila dipisahkan, maka untuk setiap orang hanya terbebani zakat 1 ekor kambing.


Rasulullah bersabda:
“Dan hewan ternak yang bercampur kepemilikannya, maka masing-masing diambil zakatnya secara sama.”

Maksudnya adalah jika amil mengambil zakat satu ekor kambing dari salah seorang pezakat yang ternaknya bercampur dengan ternak milik orang lain, maka kepada peternak lainnya ditentukan zakat sebesar zakat yang ditetapkan kepada peternak pertama.***

Z-a. Nishab Kambing

Rasulullah SAW bersabda:
“Kambing yang digembala, maka jika mencapai 40 ekor, maka zakatnya satu ekor kambing, hal ini sampai jumlah ternaknya mencapai 200 ekor; jika jumlah ternaknya lebih dari 200 ekor hingga 300 ekor, maka zakatnya 3 ekor kambing; jika lebih dari 300 ekor, maka untuk setiap 100 ekornya zakatnya adalah 1 ekor.” Ketentuan ini adalah disepakati untuk jenis kambing dan domba.

Digembalakan di padang rumput bebas adalah satu salah syarat dalam perwajiban zakat hewan ternak, kecuali pandangan Imam Malik dan Laits --sebagaimana sudah kami paparkan terdahulu-- karena kedua imam ini menyatakan tetap wajibnya zakat atas hewan ternak yang tidak digembalakan di padang rumput bebas. Akan tetapi, tidak ada perbedaan sama sekali di kalangan para ulama bahwasannya kambing dan domba dianggap satu jenis dalam perzakatan, demikian juga unta dalam berbagai jenisnya, juga sapi dan kerbau.

Para ulama hanyalah berbeda pendapat tentang proporsi jumlah jika salah satu sub-bagian lebih banyak dari sub-bagian yang lain. Sebagian ulama menyatakan bebas mengambil zakat dari jenis yang mana saja. Sebagian ulama lainnya menyatakan diambil pertengahannya. (Misalnya, seseorang memiliki 40 ekor kambing yang terdiri atas 20 ekor kambing dan 20 ekor domba, atau dengan proporsi yang berbeda, maka zakatnya bisa dari salah satu jenis kambing tersebut -pent).

Z-b. Nishab Sapi

Telah shahih dari Muadz ibn Jabal, bahwasannya Rasulullah SAW ketika hendak mengutusnya ke Yaman, beliau menyuruhnya untuk mengambil zakat sapi untuk setiap 30 ekor zakatnya seekor tabi’ atau tabi’ah, setiap 40 ekor sapi zakatnya seekor musannah; dan untuk mengambil jizyah dari setiap halim satu dinar.” HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, hasan shahih.

Demikian juga dengan surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW dan diberikan kepada Amr ibn Hizam, diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa, dari jalan Thawus dari Muadz, Abu Ubaid menghikayatkan bahwa hal ini adalah ijma’ ulama Islam. Dan mayoritas ulama menyatakan bahwa sapi yang jumlahnya kurang dari 30 ekor tidak ada zakatnya. Dan dihikayatkan dari Said dan Al-Zuhri bahwasannya untuk lima sapi, zakatnya 1 ekor kambing, sebagaimana unta.

Diantara syarat zakat ternak sapi, adalah ia digembalakan di padang rumput bebas, sebagaimana disebutkan dalam hadits Amr ibn Syuaib dari bapaknya (Syuaib) dan kakeknya, dari Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat atas hewan ternak yang dipekerjakan.” HR. Abu Daud 1572, dari jalan Ali ibn AbiThalib, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/116 dari jalan Amr ibn Hizam. Dalam sanad kedua hadits ini, ada kelemahan, namun yang masyhur dari sanad hadits ini adalah mauquf. Dan diriwayatkan dari Ali, Muadz, dan Jabir, ketiganya mengatakan: “Tidak ada zakat atas sapi yang dipekerjakan.” Akan tetapi, Imam Malik dan Laits menyatakan: “Tetap ada zakatnya.”

Untuk sapi yang berjumlah 30 ekor zakatnya 1 ekor jantan. Dan untuk 40 ekor zakatnya sapi betina, namun, jika pezakat membayar zakatnya dengan sapi jantan, apakah sah?

Tentang hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama:

Imam Ibn Al-Qasim menyatakan sah;

Imam Asyhab menyatakan tidak sah. Dan ini adalah pandangan dan madzhab Imam Ahmad serta sekelompok ulama lainnya.


Jika semua ternak sapinya jantan, maka zakatnya sapi jantan. Jika mencapai 120 ekor, maka pemilik ternak boleh memilih: membayar zakat dengan 3 ekor musannah atau 4 ekor tabi’ah. Tabi’ adalah sapi yang telah berusia 1 tahun penuh dan masuk pada usia tahun ke dua. Sapi Musannah adalah sapi yang telah berusia 2 tahun penuh.***

Z-c. Kerbau, Sapi, dan Banteng

Kerbau adalah menempati kedudukan sapi. Demikian dikatakan oleh Imam Ibn Al-Mundzir sebagai ijma seluruh ulama Islam. Adapun banteng, mayoritas ulama menyatakan tidak ada zakatnya. Sebagian ulama lainnya menyatakan: “Jika lahir dari perkawinan banteng dengan sapi, maka Imam Syafi’i menyatakan tidak ada zakatnya;Imam Ahmad menyatakan ada zakatnya.” Adapun Imam Malik memilah antara jantan dan betinanya, jika betinanya dari sapi, maka dikeluarkanlah zakatnya, jika betinanya dari banteng maka tidak ada zakatnya.

Anak hewan ternak dari semua jenis ternak (unta, sapi, dan kambing) digabungkan kepada jenis ternak dewasa, akan tetapi dalam mengeluarkan zakatnya, dikeluarkan yang pertengahannya. Jika seluruh hewan ternaknya adalah jenis anak-anak (Bahasa Jawa: pedhet untuk anak sapi, gudel untuk anak kerbau, dan cempe untuk anak kambing -pent), sebagian ulama menyatakan zakat diambil dari jenis tersebut; sebagian ulama lain menyatakan: “untuk zakatnya, peternak harus membeli ternak yang sudah dewasa.”***

Z-d. Ternak Yang Terdiri Atas Berbagai Jenis

Hewan ternak yang terdiri atas berbagai jenis --jika ternak masing-masing peternak itu berbeda dengan milik peternak lainnya-- jika tidak berbeda, maka kedua peternak berserikat dalam perzakatannya; jika keduanya bercampur, maka keduanya membayar zakatnya atas ternak yang dianggap satu peternakan. Misalnya, setiap orang memiliki 40 ekor kambing, maka masing-masing peternak zakatnya 1 ekor kambing dengan nilai nominal sama.

Hewan ternak yang bercampur ini, dalam urusan zakat, harus memenuhi tiga syarat, sebagian ulama menyatakan dua, dan sebagian ulama menyatakan satu syarat saja, yaitu:

Satu tempat minum yang sama;

Satu tempat gembalaan (padang rumput) yang sama;

Satu kandang yang sama;

Satu penggembala/pimpinan;

Satu pejantan yang sama.

Sebagian ulama lain menyatakan: “Syaratnya hanya satu, yaitu digembala atau dikelola oleh satu penggembala/peternak yang sama., sebab dengan hal ini kedua ternak itu bersatu, demikian juga dalam hal-hal lainnya.

Apakah menjadi syarat, masing-masing peternak memiliki ternak hingga mencapai nishab ataukah tidak? Imam Malik menyatakan masing-masing harus mencapai nishab, sedangkan ulama lain menyatakan tidak harus.

Z-e. Rincian Zakat Ternak

Jika seseorang memiliki hewan ternak kemudian berkembang biak, jika jumlah betina mencapai nishab, maka zakat anak-anaknya mengikuti betinanya, dan ditentukanlah awal haul untuk betina, menurut mayoritas ulama.

Jika tidak mencapai nishab, kemudian berkembang biak --walaupun belum mencapai haul karena kurang satu hari-- hingga mencapai nishab, maka dikeluarkanlah zakatnya, menurut Imam Malik, dan anak-anaknya ditentukan haulnya berdasarkan haul betina tersebut.

Jika peternak menjual sebanyak 1 nishab dengan jenis yang sama, maka yang keduanya (anak-anaknya) ditentukan haulnya dengan haul ternak betina;

Jika peternak membeli hewan ternak sebanyak 1 nishab dengan uang tunai, pada saat itu ternak yang pertama belum melampaui/melewati haul (12 bulan), maka haul ternak sebelumnya mengikuti haul ternak yang baru dibeli tersebut, menurut satu dari dua pandangan ulama.***


Z-d. Zakat adalah untuk Daerah Tertentu

Zakat disalurkan kepada masing-masing negeri menurut tempat dimana zakat itu diambil. Maka, zakat yang diambil dari Syam (Syams waktu itu adalah setingkat dengan kegubernuran/wilayah, kini Syam menjadi 4 negara: Libanon, Suriah, Palestina, dan Yordania –pent), disalurkan di Syam, Zakat Mesir disalurkan di Mesir. Lalu, apakah boleh memindahkan harta zakat dari Syam ke Madinah atau yang lainnya? Tentang ini, ada dua pandangan ulama.

Imam Malik menyatakan:
“Tidak apa-apa jika dibutuhkan.

Dan jika penduduk negeri tadi tidak ada lagi mustahiqnya, maka tidak ada khilaf sedikitpun dikalangan ulama tentang bolehnya memindahwilayahkan zakat. Dan tatkala Muadz ibn Jabal membawa harta zakat dari Yaman (Yaman adalah kegubernuran, waktu itu –pent) ke Madinah, Umar (saat itu adalah khalifah –pent) memprotesnya seraya berkata: “Aku tidak mengutusmu sebagai penarik zakat Yaman untuk dibawa ke Madinah.” Maka Muadz menjawab: “Aku sudah tidak lagi mendapati penduduk Yaman yang mustahiq.” (Muadz ke Yaman adalah diutus oleh Rasulullah, namun tetap dianggap sebagai keputusan Khalifah sepeninggal beliau termasuk Umar bin Khaththab, -pent)

Namun, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan: “Tidak boleh dipindahkan ke negeri lain.” Imam Malik membolehkan untuk membawa harta zakat ke negeri lain.***

Z-f. Pembagian Zakat

Adapun tentang pembagian zakat, Allah telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir, miskin, amilin, muallaf, fii al-riqab, gharim, fii sabilillah, dan ibnu sabil. Sebagai sebuah kewajiban dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.” Q.S. Al-Taubah: 60.

Imam Abu Ja’far Al-Thabari menyatakan:
”Mayoritas (jumhur) ulama mengatakan bahwasannya tentang pembagian harta zakat kepada mustahiqnya adalah kepada mustahiq manapun dari delapan ashnaf adalah boleh. Penyebutan delapan ashnaf hanyalah sekedar informasi dari-Nya bahwa zakat tidak boleh disalurkan diluar delapan ashnaf yang tersebut di atas, dan tidak harus dibagikan merata kepada delapan ashnaf.”

Sebuah riwayat dengan sanad yang sampai ke Hudzaifah, dari Ibn Abbas, keduanya berkata: “Jika engkau mau, boleh engkau salurkan kepada satu ashnaf atau dua ashnaf atau tiga ashnaf.”

Diriwayatkan dari Umar, dia berkata:
“Ashnaf manapun yang engkau beri zakat, maka sah sudah zakatmu.” Dalam riwayat yang sama, Umar pernah menarik zakat dan menyalurkannya kepada satu ashnaf saja. Dan ini adalah pandangan Abu Al-Aliyah, Maimun ibn Mihran, dan Ibrahim Al-Nukha’i.

Imam Al-Thabari mengatakan:
“Sebagian ulama muta’akhirin mengatakan bahwasannya penyaluran harta zakat kepada enam ashnaf, amil dan muallaf gugur, tidak termasuk mustahiq. Yang benar adalah bahwa sesungguhnya Allah menjadikan zakat dalam dua makna:

Untuk menghilangkan gap/jurang pemisah di antara kaum muslimin, dan

Untuk membela dan mengokohkan Islam.

Maka, setiap usaha untuk membela dan mengokohkan Islam, diberi harta zakat, baik orang kaya ataupun miskin, seperti mujahid (pejuang perang) dan yang semisalnya. Adapun untuk tujuan menghilangkan gap diantara muslimin, maka dikeluarkan harta zakat kepada muallaf atau yang lainnya. *** Diterjemahkan oleh: Abu Muhammad ibn Shadiq

NB. (Tambahan penerjemah):
Fii Al-Riqab adalah budak yang sudah membuat perjanjian kemerdekaan dengan tuannya. Merdekanya budak tersebut biasanya dengan membayar ganti-rugi berupa uang. Apabila tidak bisa tunai, maka biasanya mencicil selama jangka waktu tertentu. Nah, budak seperti inilah yang disebut fii al-riqab yang berhak mendapatkan dana zakat.

Z-g. Mengeluarkan Zakat dengan Nilai Nominal.

Tentang ini, ada tiga pandangan di kalangan para ulama:

Sah bagaimanapun keadaannya. Yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Hanifah;

Tidak sah bagaimanapun keadaannya. Yang berpendapat demikian adalah Imam Syafi’i;

Tidak sah kecuali darurat. Misalnya, seseorang yang wajib membayar zakat dengan satu ekor kambing atas kepemilikan unta, akan tetapi ia tidak memiliki kambing. Contoh berikutnya adalah seperti seorang petani anggur atau petani kurma yang menjual anggur atau ruthab (kurma mengkel) sebelum benar-benar masak/kering. Ini adalah ungkapan dari Imam Ahmad sendiri secara gamblang, sebab beliau melarang manusia dari mengeluarkan zakat secara nominal untuk menggantikan zakatnya, kecuali jika darurat. Akan tetapi sebagian para sahabat beliau menyatakan bahwa Imam Ahmad pernah membolehkan menunaikan zakat secara nominal sebagai pengganti barang zakat. Dari hal ini, berarti ada dua riwayat yang kontradiktif dari Imam Ahmad sendiri. Akan tetapi para sahabat Imam Ahmad lebih memilih pandangan Imam Ahmad yang melarang zakat secara nominal kecuali darurat, karena ini lebih masyhur dari ungkapan beliau, sama seperti Imam Syafi’i.


Pandangan yang ke tiga ini adalah pandangan yang paling dekat kepada kebenaran sebagaimana yang telah juga kami sebutkan tentang sholat. Kenapa? Karena dalil-dalil tentang wajibnya zakat mal adalah demikian adanya, baik secara nash maupun secara qiyas --maksudnya adalah semua jenis zakat memiliki ukuran, ketentuan, dan aturan sendiri-sendiri. Demikian semua dalil-dalil tentang kewajiban-kewajiban lainnya.***

Sumber:
Syaikhul Islam ibn Taimiyah, Majmu Al-Fatawa, cet. I/1419H/1998M, Jilid 13, Maktabah Al-Ubaikan, Riyadh-KSA. Penerjemah:Abu Valech Yanhouth
***

Pengertian fiqih Islam

PENGERTIAN FIQIH
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)

dan sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)

Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:

1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.

2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH ISLAM
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.

Contohnya:

a. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al maidah:6)

b. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya :
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml:3)

Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)

FIQIH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.

2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As sakhsiyah.

3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih mu’amalah.

4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih siasah syar’iah.

5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai fiqih Al ‘ukubat.

6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as Siyar.

7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak

Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

SUMBER-SUMBER FIQIH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

AL QUR’AN

Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :

a. Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah swt: (QS. Al maidah : 90)

b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

AS SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)

Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:

“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Bukhari no.595)

Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

IJMA’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.

Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i)

Wallahu A’lam .

Diambil dari Majalah Fatawa